3. Tidak Selalu Manis.

42 6 0
                                    

Arfa mamandang Gadis di depannya dengan sendu dan nanar. Tubuhnya kaku dan lidahnya kelu. Cukup. Ini menyakitkan.

Gadis itu menjerit tetapi matanya tetap terpejam. Tuhan. Jaga dia, do'anya dalam hati.

Arfa maju selangkah, mencoba mendekati si Gadis. Tangannya pun terulur maju, mencoba menyentuh rambut hitam legam milik si Gadis.

Alangkah terkejutnya Arfa, si Gadis menjauh dari nya. Tatapan matanya berkilat marah, dengan setitik sorot kecewa.

Arfa mengkerutkan kening, "Kamu kenapa Ghe?" ucapnya lembut.

Ghea berdesis kasar, "Aku kecewa sama kamu," balasnya skeptis.

Ghea semakin lama semakin menjauh, wajahnya terutup oleh cahaya putih. Arfa berlari mengejarnya, "Ghe stop! Aku sayang kamu!" teriaknya.

Ghea menggeleng pelan, sorotnya membeku. "Simpan kata-kata itu. Aku kecewa," ucapnya. "Aku kecewa ternyata kamu nyakitin cewek lain, selain aku. Kamu payah Arfa," lanjutnya.

Tubuh Arfa menegang, ia menatap Ghea tidak percaya. "Ma—maksud kamu?"

Angin pun tiba-tiba menggulung di tengah-tengah lapangan, tempat Ghea dan Arfa berpijak. Tubuh Arfa terhuyung ke belakang dan ke samping.

Semakin lama angin itu berputar semakin kencang, "Kamu tau, aku ini sementara. Tapi hati kamu selamanya. Ketika dia hilang, sama saja kamu kehilangan hati kamu. Temukan dia, jangan pedulikan aku," ucap Ghea, samar-samar.

Arfa terjatuh di lapangan, tangannya menyentuh tanah dengan kepala yang mendongak ke atas. Di atas sana, ia melihat Ghea masuk ke dalam angin bergulung memakan tubuhnya.

Ghea seperti ikut dengan angin yang membawanya, Arfa mengejarnya. Kesalahan terbesarnya, semakin ia mengerjar semakin apa yang dikejar menjauh dan hilang.

Nafas Arfa terengah-engah, "Dia?"

***

Keringat membasahi tubuh Arfa, nafas Arfa pun tidak beraturan. Juan yang melihat itu semua pun berjengit kaget.

Juan menepuk-nepuk pipi Arfa, "Fa. Bangun," Juan menggoyang-goyangkan tubuh Arfa.

Arfa merasakan kelopak matanya berat dan tidak dapat terbuka, di dalam sana—di alam mimpinya—ia masih mencari-cari keberadaan Ghea.

"Arfa woi! Bangun!!" teriak Juan kencang. Untungnya mereka berada di ruang musik, yang memang terkenal sepi.

Arfa menggelengkan kepala, lalu mulutnya bergumam tidak jelas. "Ya Allah Arfa! Gue nggak siap diwawancara kalo lo mati," panik Juan, ia mondar-mandir di ruang musik sambil memijat pelipis.

"Arfa. Gue sedih kalo lo mati, tapi seneng juga. Soalnya nggak makan hati lagi kalo ngomong sama lo," ucapnya.

"Arfa bangun! Masyaallah!!" Juan berjuang lebih keras untuk mengoyang-goyangkan tubuh Arfa.

Tiba-tiba Arfa membuka kelopak mata, dengan keringat yang membanjiri pelipisnya dan nafas yang terengah-engah.

"Gue salah apa?"

Wajah Juan yang tadinya ingin tersenyum berubah menjadi melongo. Juan mengerjapkan kedua mata, "Banyak," jawabnya.

"Ko—kok lo nanya gitu?" gugup Juan. Hei, jelas ia kaget. Bangun-bangun tiba-tiba bertanya seperti itu.

Arfa mengedarkan pandangan ke sudut ruangan, lantas mendesah lelah. Tidak ada angin yang menggulung, tidak ada lapangan hijau. Tadi semua itu mimpi, tapi mengapa ia merasa itu seperti sebuat tanda?

Arfa menatap Juan sayu, walaupun matanya semi sipit —yang nampak begitu tajam, tapi tatapannya sayu dan lelah. "Gue banyak salah?" ulangnya.

Juan menyeret bangku plastik yang berada tidak jauh darinya, lalu menempatkannya di depan Arfa. Kalau sudah seperti ini, yang Juan butuhkan adalah Arfa yang terbuka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang