Bagaimana ia selalu tersenyum biarpun dunianya hancur di belakang punggung?
Entahlah.
Miyamura Atsushi juga tidak mengerti apa yang ia inginkan.
Mereka bilang ia mati rasa—segelintir orang berpakaian jas dokter yang melewatinya di lorong putih yang menyilaukan. Mereka bilang ia tidak mengerti emosi, Atsushi terkekeh, ia tidak mau mendengar komentar seperti itu meluncur dari sekumpulan orang yang menciptakan kehancuran dan kematian kemana pun mereka melangkah.
Atsushi hanya ingin hidup melewati satu hari lagi.
Ia lupa kapan terakhir kali ia melihat lazuardi. Samar-samar ia ingat kedua orangtuanya, wanita dengan senyuman secerah mentari dan pria yang matanya berkilau layaknya pantulan rembulan di malam hari. Ia ingat kala ia diseret kemari pada umur yang kelewat muda, jauh sebelum Hasegawa Aoi tiba di depan pintu besi dengan tatapan membunuh yang membuat Atsushi seketika merinding. Atsushi diseret kemari hanya karena nilai akademiknya jauh lebih tinggi dari anak-anak seusianya—anak-anak yang luar biasa normalnya.
Atsushi selalu berpikir ia normal. Hidupnya normal. Semuanya normal.
(Tetapi katakan, anak normal macam apa yang sanggup menghitung ekuitas mata uang, yang bisa menciptakan sebuah virus komputer kompleks, yang bisa meluncur di atas gravitasi?)
Atsushi tidak mati rasa, ia hanya lupa cara memiliki emosi.
Ia lupa caranya tersenyum. Ia lupa caranya tertawa. Ia sudah terlalu lama dilempar ke dalam lorong putih menyerupai penjara yang membuatnya sesak. Ibunya menghilang, ayahnya pun pula. Atsushi hampir lupa siapa dirinya—kalkulasi demi kalkulasi dipaksakan ke dalam otaknya, huruf bercampur dengan angka, bagi, kali, tambah, kurang, sama dengan, ulangi.
Mereka memaksanya menciptakan sesuatu, membuat sesuatu.
Mereka merusak seorang Miyamura Atsushi untuk itu.
Anak laki-laki dengan rambut sewarna lembayung yang hanya ingin mencintai pagi lagi.
Atsushi tidak mengerti.
Umurnya hanya delapan tahun ketika ia akhirnya lupa cara berekspresi. Otaknya yang kala itu masih muda, yang seharusnya hanya memikirkan tawa dan cara untuk bahagia, dipenuhi dengan berbagai fakta dan angka. Iris peridotnya kosong, dipenuhi dengan pahitnya hidup yang seharusnya tidak dimilikinya. Ia dilempar paksa ke dalam dunia yang bukan miliknya.
(Hei, hei, hei, apakah kau tahu bahwa mencuci otak seorang manusia sangatlah mudah?)
Pada umurnya yang kelewat belia, alih-alih bermain dan tertawa, anak laki-laki dengan rambut sewarna lembayung senja yang kelewat langka tersebut harus menghitung ekspresi dengan angka. Setiap ia melihat seseorang tersenyum, otaknya dengan segera membuat kalkulasi yang sama sekali tidak ada hubungannya.
Kemiringan sudut bibir, berapa senti otot wajah mereka bergerak, intensitas cahaya yang berkilat di mata mereka—hei, ia dengar tertawa membakar kalori, berapa kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan suara tawa? Apakah cukup untuk membuat api?
Apakah cukup untuk menghangatkan hatinya yang dingin?
Atsushi duduk menatap dinding putih tanpa hiasan. Ia belum pernah melihat bangunan ini dari luar, tetapi bagian dalam yang menyambutnya mengingatkannya kepada sebuah rumah sakit. Ia mendengar desas-desus bahwa tempat ini dulunya adalah sebuah asilum, sebuah rumah sakit jiwa untuk orang-orang yang melawan cara kerja dunia.
Bila tempat ini memang sebuah asilum, mungkin memang pantas bila Atsushi masuk ke sini.
Ia tengah menghitung jumlah sin dan cos kemiringan sudut pada dinding kala sepasang kaki muncul di hadapannya. Sepatu but militer seukuran mata kaki yang sangat tidak pantas dipakai oleh sepasang kaki langsing milik seorang perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?