E.

13 0 0
                                    

Arka benar-benar menganggap malam pertemuan untuk mengerjakan proyek bersama Jesibel sangat tidak profesional. Ia menyalahkan dirinya soal itu. Tapi setidaknya perencanaan proyek tersebut tidak gagal sama sekali. Dan ada hal lain yang membuatnya puas, membuat Jesibel nyaman bersamanya. Sesuatu yang ia harapkan sedari dulu. Namun seringkali ia pungkiri. Bahkan hingga kini.

***

"Boleh bergabung?" tanya Jesibel yang baru datang dan meminta bergabung makan siang dengan Feyya dan Arka

Akhir-akhir ini, Feyya dan Arka memang sering menghabiskan waktu makan siang bersama. Bekerja satu ruangan dengan Arka membuat Feyya memiliki pilihan ketiga selain pergi sendiri atau pergi dengan Jesibel. Feyya memang cukup selektif, berbeda dengan Jesibel yang cendurung tidak peduli untuk satu meja dengan siapa saja namun sendiri pun bukan masalah.

"Kalian sepertinya makin dekat?" Tanya Jesibel dengan nada menggoda

Feyya tersenyum disertai perasaan yang menusuk hatinya "oh iya, aku ingin mengambil cuci mulut dulu" Feyya pun menganggkat bokongnya dari kursi dan berlalu pergi dengan langkahnya yang memang naturally lumayan sensual.

"apa kau... mmhh... cinlok dengannya?" Jesibel mengangkat sebelah alisnya sambil menahan tawa

Arka yang mendengarnya merasa tidak senang. Bukan soal merasa malu ketahuan cinlok, karena Arka sadar Feyya tidak jatuh cinta padanya walau dirinya tertarik pada Feyya, mungkin. Tapi yang membuatnya tak enak hati justru karena ia tidak percaya jika Jesibel seperti tak mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika ia mendekap Jesibel dan ia tahu jesibel nyaman akan dekapannya. Kalau begitu seharusnya Jesibel lah yang pantas mengalami cinlok. Tidak, tidak, ini juga bukan soal membuat Jesibel Jealous, tapi Arka khawatir Jesibel melupakan kenangan bersamanya.

"Tidak sama sekali" jawab Arka datar

"Apa kau tidak suka dengan candaanku? Kalau begitu maaf"

"Tidak juga. Omong-omong soal beberapa hari yang lalu, aku minta maaf terlalu mencampuri urusan kehidupanmu" sesal Arka yang sesungguhnya tersisipi kesenangan di hatinya karena mampu menenangkan Jesibel ditengah kepenatan hidupnya.

"Kau tahu? Sejujurnya aku enggan mengakuinya. Tapi aku tidak mengerti, kenapa aku nyaman untuk menumpahkan perasaanku padamu, kau seperti...." kata-kata Jesibel terhenti, entah tenggorokannya tercekat sesuatu atau ia sedang mencari kata yang pantas "saudaraku, kau seperti sesuatu yang kucari. Dan sepertinya kata yang pantas untuk mendeskripsikanmu ialah saudara, lebih tepatnya adik karena aku sadar data dirimu menjelaskan kalau usiamu beberapa bulan lebih muda dariku" lalu Jesibel tertawa diakhir kalimatnya

Arka menanggapi dengan seulas senyum hampa.

Sebatas adik. Benar juga, adik dan kakak memang pantas berbagi rasa.

Batin Arka.

***

Dimalam terang penuh sinar rembulan. Feyya menatap hampa langit di hadapannya, aktivitas yang telah ia lakukan sejak beberapa hari yang lalu. Rasanya ingin sekali ia membenci orang serumahnya saat ini. Tapi ia sadar itu tak patut dilakukan.

"Feyya, kau di dalam? Boleh aku masuk?" Pinta Jesibel disertai ketukan pintu

"Ya tentu"

Jesibel pun membuka pintu kamar Feyya yang tak dikunci

"Ada perlu apa?" Tanya Feyya tanpa basa-basi

"Mmhh, aku bingung bagaimana mengatakannya. Tapi sebagai saudara sepupu kurasa tidak apa-apa untuk membicarakan ini"

Feyya menoleh menatap Jesibel sebagai bentuk tanggapan.

"Akhir-akhir ini kau terlihat murung" Jesibel menarik napas dalam "aku tahu kau jatuh cinta pada Arka"

"Begitupun kau" sambung Feyya dengan tatapan suram

"Ini yang ingin aku luruskan" sahut Jesibel "aku tidak menyukainya, aku bahkan baru mengenalnya dan melihatmu murung membuatku tidak senang. Jadi jika kau mau, aku akan membantumu dekat dengannya, tapi jika kau tidak butuh, aku akan dengan senang hati jaga jarak dengannya. Ini agar kau percaya aku tidak menyukainya seperti yang kau pikirkan"

Feyya menatap Jesibel tidak percaya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Membiarkan keheningan mengisi ruangan dingin kamarnya.

"Dasar pelupa. Kau sudah pernah mengenalnya dulu. Dan aku yakin, lambat laun kau jatuh cinta padanya. Tidak perlu menjadi sok heroik atau mau mengalah padaku. Lagipila kenapa kau harus bersusah payah membuktikan kau tidak menyukainya? Apa keuntungannya bagimu?" jawab Feyya ketus, di satu sisi hatinya tak mengizinkannya mengatakan hal sekasar itu, namun kemarahannya sudah memenuhi relung hati dan mengalahkan kesabarannya

"Kapanpun pertama kali aku mengenalnya, itu tidak merubah perasaanku. Aku tetap tidak menyukainya, kalau pun aku jatuh cinta dengannya, bukannya yang ia sukai itu kau? Aku hanya tidak ingin kau membenciku. Aku benar-benar menghargaimu sebagai keluargaku"

"Arka menyukaiku? Kurasa tidak. Bukan aku lagi. Tapi kau" lalu tetes air mata mulai datang berkejaran. Membanjiri pipi putih bersih Feyya. Hati lembutnya tak mampu menahan air mata itu lagi. Walaupun ia terlalu malu untuk menangis karena Arka.

"Astaga" pekik Jesibel "kau sungguh menangis?"

"Aaaa, diamlah, aku malu mengakuinya" keluh Feyya sambil mengusap air matanya.

"Dengarlah, aku tak menyukainya. Dan iapun menyukaimu seperti kau menyukainya, kalian hanya butuh lebih dekat. Akan kupastikan kalian--"

"Kau akan membantuku menjadi kekasihnya? Sungguh? Kau tidak akan merebutnya untukmu sendiri bukan?"

"Tentu tidak"

"Kalau begitu buktikan. Katakan aku tidak sia-sia menunggunya diam-diam selama bertahun-tahun"

Jesibel mengangguk menyanggupi. "Aku janji"

****

Arka membaringkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Sedari tadi ia berusaha untuk membawa pikirannya ke alam bawah sadar. Namun setiap kali ia memejamkan mata, gambaran wajah Jesibel lah yang selalu muncul. Tangisnya, senyumnya, suaranya, semua terekam jelas.

"Ya tuhan, kenapa ini terjadi lagi" keluh Arka tentang dirinya sendiri

"Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Sibel itu. Aku tidak pernah yakin sejak dulu begitupun sekarang" lanjutnya bergumam

Ia pun kembali memejamkan matanya dan hal serupa terulang. Hal yang sesungguhnya telah terjadi sejak beberapa hari yang lalu.

"Astaga. Apa yang salah?" Arka mulai kesal dengan dirinya sendiri "sepertinya harus kualihkan pikiranku dengan mendekati Feyya. Sesuai rencana sebelumnya"





Can You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang