The Two Moons

233 24 6
                                    

Kukira aku sudah gila melihat dua bulan di atas langit. Yang satunya berwarna abu-abu, yang satunya berwarna merah darah.

Saat itu juga aku tahu bahwa aku tidak berada di bumi, tidak berada di dunia normal. Dingin menghempas tubuhku, kusadari aku mengenakan piyama tipis yang kupakai ketika aku tidur tadi.

Di sini aku berdiri, di atas jalan setapak yang mengarah entah ke mana. Aku putuskan untuk mengikuti jalan setapak ini. Setelah berjalan sekitar 5 menit, aku melihat sebuah rumah, tidak. Sebuah desa. Desa yang gelap, hanya diterangi oleh obor di depan setiap rumah. Walau begitu, aku semangat berjalan menyusuri desa itu. 

Ini aneh, kenapa tidak ada seorangpun di sini? Desa ini begitu hening, namun aku mendengar sesuatu samar-samar. Aku mengikuti suara tersebut dan sampai ke tengah desa, di tengah sana ada sesajen dengan bunga melati dan ayam-ayam yang dikurung, kurasa ada sekitar 20 hingga 30 ekor. Tidak lupa dupa berbau menyengat. Untuk apa ini?

Tiba-tiba saja aku ditarik oleh seseorang, dia membekap mulutku sementara aku menjerit sambi melotot. Kemudian meronta namun pergerakanku terkunci olehnya. Aku panik, tentu saja aku panik. Orang seperti apa yang tidak panik ketika ada seorang pria sangar membekap mulutmu?

"Diamlah dulu! Apa kau mau dimangsa mereka?"

Aku berhenti meronta dan berusaha untuk tetap tenang. Apa maksudnya? Sedetik ketika dia melepaskan mulutku, aku langsung bertanya, "Siapa kau? Di mana ini? Jelaskan padaku."

Lalu diceritakanlah olehnya bahwa aku dan dia kini berada di perbatasan dua dunia, di mana hanya ada satu pemukiman penduduk di sini. Sesajen itu ditaruh di sana untuk diberikan kepada suku Hom yang kanibal. Sudah cukup banyak warga yang dimangsa di sini hingga kepala desa membuat kesepakatan bahwa mereka akan memberikan makhluk lain sebagai persembahan dan ganti dari manusia. Jatuhlah pilihan mereka kepada ayam.

Sekarang pertanyaanku, kenapa aku di sini?

"Kau tahu, kau harus bersyukur karna tidak ditemukan oleh mereka," katanya tiba-tiba. Aku mengernyit, tentu saja aku bersyukur. "Ah tidak, aku yang bersyukur karna kau tidak ditemukan mereka,"

Pria itu kemudian membuka baju dan memperlihatkan bagian pinggangnya, sebuah tato dengan tanda R di sana, aku menatapnya bingung, kenapa dengan tatonya?

"Suku Rom biasa memberikan mangsanya melihat tato mereka sebelum dibunuh. Astaga, kau pasti sangat nikmat," belum sempat aku menjerit, rasa sakit tak tertahankan menghinggap tubuhku.

Aku segera terbangun dan menghembuskan nafas lega begitu menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Jantungku berdegup kencang, mimpi itu terasa begitu nyata. Aku mengambil air minum di nakas samping tempat tidurku.

Tapi hei, kukira aku sudah gila melihat dua bulan di atas langit dari balik jendelaku.

----

SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang