Jao berdiri di bawah pohon mahoni yang terletak di dekat ruang satpam. Dia melirik jam tangan, biasanya pukul tujuh pagi Berlian sudah ada di sekolah. Namun selama tiga puluh menit menunggu, adik perempuannya belum terlihat. Tidak biasanya Berlian berangkat siang. Kira-kira apa yang sudah terjadi? Kecemasannya berakhir karena melihat seorang gadis kecil berkuncir kuda berlari-lari penuh semangat ke arahnya.
"Bang!" Berlian mencium tangan Jao. "Abang udah nggak demam lagi, kan?"
Jao tersenyum, tangannya bergerak untuk membenahi kunciran adiknya yang berantakan. "Nggak pakai jilbab, Ber?"
"Umi marah, Bang." Berlian menunduk, sedih. Ia kemudian bercerita tentang keadaan ibunya yang sering marah-marah, pulang malam dan menceracau tidak jelas. Bau mulut ibunya juga tidak enak, tambah Berlian polos. Sebagai remaja dewasa, Jao tentu tahu apa yang terjadi pada ibunya.
"Umi juga sering diantar pria pas pulang." Berlian mendesah, "Aku kangen kayak dulu lagi. Kita bisa serumah lagi nggak, Bang? Kalau aja Abi nggak mukulin Umi, Umi pasti nggak akan pergi. Kalau aja kita serumah...." Ketika Berlian mendongak, Jao melihat kantung mata adiknya.
"Kamu semalam tidur jam berapa?" Jao mengusap puncak kepala Berlian. Merasa sedih karena tidak bisa melindungi saudara kandungnya yang belum mengerti apa-apa.
Gadis kecil itu menggeleng, terkesan menutupi sesuatu, entah apa. Lonceng masuk sekolah menyelamatkannya. Setelah pamit, dia berlari menuju kelas, meninggalkan Jao yang diam-diam meneteskan airmata. Cowok itu tahu bahwa perceraian, atas alasan apapun, selalu mengorbankan anak. Dan anak adalah pihak yang paling dirugikan. Semata-mata bukan karena materi atau kebutuhan yang tidak tercukupi, tetapi pada kasih sayang yang semakin lama semakin hilang.
***
Waktu istirahat dimanfaatkan Jao untuk menyalin catatan dari buku Prasetya. Kemarin dia membolos agar bisa menemui Berlian, mengamati adiknya dari kejauhan. Jao sangat bersyukur karena bisa melihat si adik tertawa dengan teman-temannya. Walau saat teman-temannya ke kantin pada jam istirahat, Berlian hanya duduk di pinggir lapangan bola, memegangi perut sambil melihat teman-temannya makan di kantin.
Iba, Jao memanggilnya di balik pagar sekolah. Yang dipanggil membulatkan mata, kaget dan bahagia kemudian menghampiri Jao dengan langkah lebar-lebar.
"Lho, Abang kok masih di sini? Abang nggak sekolah, ya?"
Begitu Berlian ada di dekatnya, Jao memberikan uang sakunya. Awalnya pemberiannya ditolak, namun Jao terus memaksa. Siang itu pertemuan mereka diakhiri senyum sumringah Berlian. Meski hanya mengobrol dua kali dengan selang waktu tidak lama, tarikan bibir itu menjadi amunisi paling ampuh bagi Jao untuk melanjutkan hari-harinya dengan sang ayah.
"Ber, mau janji nggak ama Abang?"
"Pasti."
"Jaga Umi dan kamu harus sehat selalu. Bisa?"
Berlian mengangguk semangat.
"Ahelah, lo malah ngelamun. Ck." Prasetya dongkol, merebahkan pantatnya di kursi sebelah Jao. "Lo ngelamunin apa sih?"
"Gue lagi menyalin plus memahami materi, Pras." Sahut Jao asal. Tidak etis menceritakan masalah pribadi ke orang lain. Dia tidak suka dikasihani.
Jao punya masalah, bisik otaknya yang lain. Ya, dia tidak terlihat seperti biasa, imbuh hatinya mulai gelisah. Tidak mungkin masalah asmara, lalu apa? Pikir Prasetya tambah gundah. Apa Jao bertengkar lagi dengan pengurus OSIS seperti minggu kemarin pasca lomba dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda? Dugaan-dugaan itu hanya berhenti pada memori otak tanpa berani diutarakan. Bersahabat lama membuatnya paham beberapa prinsip Jao mengenai hal-hal yang bersifat privasi. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Jadi jika sahabatnya tidak nyaman bercerita, dia hanya akan menunggu sampai cowok itu terbuka dan mau berbagi cerita tanpa paksaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk Surga
Любовные романыBahwa perihal hidayah sepenuhnya mutlak hak prerogative Tuhan, bukan manusia. Nabi Muhammad saw. bahkan tak pernah berhasil mengislamkan Abu Lahab yang notabenenya adalah paman dan tetangga bersebelah tembok. Nabi Nuh as. pula tak sukses menjadikan...