VIII

145 20 0
                                    


Pemuda jangkung itu berjalan di lorong yang kosong. Tatapannya lurus dan intens ke depan. Berhari-hari gadis itu menyiksa pikirannya.

Menyiksa pikiran, karena ia tidak mampu menghabisi gadis itu. Membuatnya berlurut disisi antar hidup dan matinya. Harusnya, waktu itu ia tekan lebih kuat saja luka di lengan gadis itu. Agar dia tau, tidak ada gunanya melawan dewa.

Ia mengacak gemas rambutnya sendiri. "Dasar bodoh!" Memaki diri sendiri.

Sekarang ia kesulitan untuk dapat momen emas seperti beberapa waktu lalu. Ia sudah punya dua kali waktu emas, tapi malah melewatkannya begitu saja.

Di persimpangan lorong, langkahnya memelan. Ia mendengar suara seseorang yang cukup ia kenal. Ia bersandar pada sebuah tiang, dan menguping pembicaraaan orang itu dari sana.

Senyumnya merekah. Ia dapat inginnya.

**

"Maya, Mama mau pulang sebentar. Baju Mama udah pada kotor semua, Mama udah chat Fatur juga, katanya dia bakal kesini. Sementara kamu sendiri, kalau ada apa-apa tekan aja tombol di atas kepala kamu ya nak."

Maya mengangguk. Ini hari kelimanya di rumah sakit, dan berharap banyak agar besok bisa pulang. Karena ia bosan dengan bau rumah sakit, ia ingin menghirup aroma pagi yang menyegarkan paru.

Setelah membereskan barang-barang, Mama segera keluar dari ruangan.

Kesunyian langsung menelan Maya yang terbaring di kasurnya. Kesunyian tiba-tiba lenyap saat ponsel Maya berdering. Nama Fatur tertera di layar, membuat senyum Maya merekah.

"May, bentar lagi gue sama Amel kesana ya."

"Buruan ya ... gue sendirian."

"Tenang aja, yang sab—,"

Ponsel Maya terjatuh dari genggamannya, bahkan ia belum sempat mendengar Fatur menyelesaikan kalimatnya.

**

Fatur di buat heran karena sambungan telepon yang mati tiba-tiba.

"Mati?" Fatur mengangguk.

"Biasa, signal di rumah sakit emang rada lemot."

Amel kembali fokus menatap pemandangan di depannya. Perasaannya saat ini campur aduk. Antara senang dan juga sedih, ingin bertemu sahabatnya.

Sejak awal Amel menolak untuk menjenguk Maya. Ia tidak mau kesedihannya malah memperburuk keadaan Maya. Dan Fatur adalah orang yang paling tau sesensitif apa Amel.

"Mel, nanti lo jangan nangis di depan Maya."

Amel menatap Fatut sesaat. "Gak bisa Tur."

Fatur menggenggam tangan Amel. "Kalau gue giniin, yakin deh gak bakal mewek. Ya gak?"

Gadis itu buru-buru menarik tangannya. "A-apan sih!"

"Atau kalau lo nangis, langsung gue peluk deh entar."

Bibir Amel langsung mengerucut. Ia kesal sekali kalau Fatur sudah menggodanya seperti itu.

Tapi justru candu baginya melihat ekspresi wajah Amel yang menurutnya menggemaskan.

"Udah buruan, ntar Maya kelamaan nunggu."

I Can'tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang