'Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!'
Sean mendengus kesal di balik pintu kamar Ruby sambil menghentakkan kakinya. Sudah lima menit lamanya ia berdiri di sana menunggu si pemilik kamar untuk membukakan pintu, namun tak kunjung di bukakan.
"HEH BUKA!" teriaknya sambil menggedor-gedorkan pintu itu dengan emosinya yang meledak-ledak. "RUBY BUKA!!"
Sean menghentikan aksinya lalu mendesis. "Tuh anak kebo banget sih! Masa baru jam delapan udah tidur," gumamnya sewot. Ia memandang pintu kamar Ruby sebentar lalu melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya.
Hal pertama yang terbesit di pikirannya adalah balkon kamarnya. Ada hal yang menjadi tujuannya di sana. Entah itu ide buruk atau tidak, namun satu hal yang pasti ia harus memastikan keadaan Ruby.
Sean berlari ke arah balkon dan langsung melirik ke sebelah kanannya. Balkon kamarnya memang di rancang khusus agar dapat terhubung dengan balkon kamar sebelahnya. Di sana, ia melihat Ruby tengah menatap lurus ke depan dengan padangan kosong sambil menghela nafasnya berkali-kali. Bahkan Ruby tidak sadar bahwa Sean tengah menatapnya sambil menopang dagu. Namun itu hanya beberapa detik karena detik selanjutnya Sean malah melemparkan kerikil yang ia ambil dari pot bunga di sudut balkon.
'Pluk!'
"Aww!" Sean mencoba untuk tidak tertawa ketika mendengar Ruby meringis kesakitan akibat ulahnya.
"Ish! Siapa sih yang ngelempar kerikil ke kepala gue?!" Rutuknya kesal sambil mengusap puncak kepalanya yang sedikit benjol karena terkena kerikil.
"Gue!" Ruby menoleh ke balkon yang ada di sebelahnya dan melihat Sean tengah menatapnya datar. Ruby mendengus kesal. "Lo jail banget sih! Ngapain lo pake ngelempar kepala gue pake kerikil?"
Sean melengos mengalihkan tatapannya lalu bersedekap di dinding penyangga balkon. "Bolot!" Ejeknya santai. Ruby yang tadinya menggeram kesal, entah kenapa terdiam sejenak. Ia merasa mendengar kata itu di suatu tempat. Seperti... de javu. Tapi dimana? Ruby berpikir keras mengingatnya.
"Cepet turun!" Perintah Sean tanpa peduli raut wajah yang ditampakkan oleh Ruby kepadanya. Dalam hati Ruby terus saja bersumpah serapah pada Sean tentang segala keangkuhan yang dimilikinya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi tunangan Sean. Apalagi menikah dengannya. Apa jadinya rumah tangganya? Oke, pikiran Ruby mungkin sudah terlampau jauh.
"Ngapain?"
"Makan malem."
"Terus lo kenapa gak ketok pintu kamar gue aja?"
"Lo bolot!"
Ruby berjalan mendekati balkon kamar Sean, lalu menggerutu. "Kenapa sih lo ngatain gue bolot terus?!" Sungutnya tak terima.
"Itu fakta."
"Fakta apa?"
"Fakta lo bolot."
"Astaga! Lo itu nyebelin banget tau gak! Kenapa sih nasib gue sial banget dapet calon tunangan kayak orang macam lo?!" Ruby menjambak rambutnya frustasi dan terus mengumpat dalam hati betapa menjengkelkannya lelaki yang ada di seberangnya kini.
Sean yang tidak ambil pusing pun hanya mengangkat bahunya acuh. "Cepetan turun. Gue gak mau diomelin mama." Ucapnya lalu berbalik tak menghiraukan Ruby.
"So, lo anak mama ya ternyata, eh?" Goda Ruby sambil tertawa menyeringai. Sean tidak tuli. Jelas saja ia mendengarnya. Hanya saja ia malas menanggapi celotehan Ruby yang menurutnya sangat cerewet dan berpontensi membuat telinganya tertular bolot.
"Terserah!" Sean sudah menghilang dari tempatnya meninggalkan Ruby yang masih setia berdiri di balkon kamarnya. Ruby mengerucutkan bibirnya. Niatnya untuk mencairkan pembicaraan yang beku, malah berimbas pada dirinya yang jelas-jelas diacuhkan. Sean menginjak harga dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JET BLACK HEART
Teen Fiction[Sequel dari cerita "30 DAYS FOR LOVE"] Seumur hidupnya, Ruby tidak pernah membayangkan akan tinggal di satu atap bersama dengan Sean, si lelaki dingin dan angkuh yang sangat asing baginya. Namun di sisi lain, Ruby merasa aneh dengan perasaannya yan...