|•KILAS BALIK•|
Bag. 3
Enggar menatap cermin datar di hadapannya sekilas. Semburat wajah lelah tampak di sana, berhiaskan bulir-bulir air sehabis dibasuh. Wajah pribumi itu kemudian kembali tenggelam dari cermin, tertunduk dalam, dan menyembul lagi dengan jejak butiran air dari wastafel. Entah sudah berapa kali kegiatan itu diulang, Enggar tidak tahu. Tetapi yang jelas, sebanyak apa pun pemuda itu coba menghapus kusut wajahnya, tidak ada yang berubah. Air mukanya tetap seperti tadi, muram.
Banyak hal yang memenuhi kepalanya sekarang. Terlalu banyak, membuat otaknya terasa penuh dan berat. Juga secara mengejutkan, menyesakkan sampai tenggorokannya nyaris benar-benar tercekat. Serta tidak disangka, hatinya ikut berdenyut; risau dibarengi segumpal perasaan ganjil entah apa.
Seragam Enggar sudah kering sepenuhnya sejak tadi, terkena kibasan udara kipas angin di kantor guru. Pun begitu juga dengan rambutnya, meski kini kembali basah tersentuh air cucian muka.
Cowok itu menumpukan kedua tangannya pada sisi-sisi wastafel sejenak, mengarahkan pandangan ke bawah. Lantas sesudahnya, bersitatap lagi dengan pantulan dirinya di cermin. Diembuskannya napas pelan sebelum melangkahkan kaki menuju pintu keluar, membukanya, dan beranjak dari sana. Kondisi sekolah terlihat sepi ketika Enggar sempurna keluar dari area toilet pria. Bel sudah berbunyi lima belas menit lalu, dan selama itu pula Enggar mendekam di depan wastafel, menyirami wajah berkali-kali, bermenit-menit lamanya.
Langkah kaki Enggar yang sempat terhenti berlanjut. Menapaki ubin-ubin persegi perlahan, terarah menuju satu tempat.
UKS.
'Perjalanan' pendek itu membawa memori Enggar untuk berkelana lebih jauh dari yang ia inginkan. Kepalanya kembali disodori hal untuk dipikirkan, menjadikannya penat tanpa bisa dicegah. Enggar refleks melambatkan langkah yang memang sudah lambat, mengurangi peluang badannya terantuk sesuatu atau semacamnya karena melamun saat sedang berjalan.
Senyum miring Bayu menjadi pembuka pelabuhan memori Enggar. Bibir yang tersenyum merendahkan itu kemudian bergerak, mengucap perkataan tak mengenakkan bagi siapa pun yang ada di posisi objek pembicaraannya.
"Lo sama Devon tuh sama aja. Sama-sama pengecut. Lo, pengecut karena keluar dari geng, dan nggak banyak ngelawan sewaktu gue nyerang lo balik tadi. Sedangkan Devon, gara-gara setiap kebohongannya di sekolah ini, yang nggak berani ngaku kalo dia itu ... emang pemake barang haram."
Enggar merutuk dalam hati, Dari sekian banyak hal yang bisa gue pikirin, kenapa harus omongan Bayu yang ada di otak gue? Dan kenapa juga kalimat itu yang gue inget? Sialan.
Tangan Enggar bergerak mencapai kepalanya, kemudian mengacak rambut dengan kasar. Gerak tungkai kakinya otomatis terhenti. Sial. Kenapa gue jadi kepikiran banget gini, coba? Sekali lagi, pemuda itu merutuk. Jalur pikirannya terasa bercabang ke mana-mana, saling tali-menali tak beraturan. Kusut.
Penuh konsentrasi, Enggar coba menghilangkan pikiran semrawut yang benar-benar mengganggu. Dia embuskan napas dalam beberapa kali sambil memejamkan mata. Cukup membantu rupanya. Setidaknya, kepala Enggar lebih ringan sekarang.
Sedetik kemudian, mantan berandalan sekolah itu lanjut berjalan. Kali ini lebih gesit, tak ingin membuat orang itu, yang tengah meringkuk di UKS, menunggu lebih lama—meski dia juga tidak yakin seseorang yang dimaksud sedang menunggu dirinya sekarang.
Tak berselang lama, pintu ruangan yang ia tuju tinggal beberapa langkah lagi. Pahatan rapi pada plang kayunya berukir tulisan 'UKS' besar-besar agar mudah dibaca. Si rambut kecokelatan itu tersenyum tipis, bergegas menggapai gagang pintu dan mendorongnya ke arah bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir-Kurir Tuhan
Short StoryDevon dan Enggar, dua remaja yang dipertemukan sebagai sahabat sejati. Bagi Enggar, Devon bukanlah hanya sekedar teman dekat. Devon baginya, ialah seorang istimewa dari segelintir manusia di dalam hidupnya. Karena Devon ... penyelamat hidup Enggar d...