Suara Takbir menggema di seluruh penjuru kota, menembus dinding rumah dan gedung yang ada di sekitarnya. Lantunannya terdengar begitu syahdu, meresap ke dalam hati, menyentuh ruang yang menghadirkan rindu. Momen seperti ini selalu berhasil membuat rasa rindu yang biasanya terendap jauh di dasar muncul ke permukaan. Kemudian disusul potongan memori tentang mereka yang diharapkan hadir di sini, di detik yang sama ketika rindu mulai membuat kita menjadi seseorang yang melankolis. Lalu kita berharap semesta berbaik hati menghentikan waktu sejenak, memberi kesempatan pada kita untuk melarikan diri ke suatu masa dimana gerak gerik menghadirkan tawa, serta adanya kebersamaan yang menjalarkan kehangatan di tengah dinginnya udara malam kota, menikmatinya sekali lagi tanpa perlu khawatir kehabisan waktu. Sayangnya, semesta tak memberi kita kesempatan untuk melangkah mundur, dan yang tersisa adalah diri yang terpaku di sini dengan cerita mereka yang selalu dikenang, dan aku yang sekarang sepertinya telah kehilangan.
"Halo!", seseorang menyapaku, tangannya melambai berkali-kali di depan wajahku sebelum akhirnya aku keluar dari ruang rindu dan menatapnya. Ada senyum yang menyambut tatapanku. Dihadapanku berdiri seorang laki-laki asing yang dari sorot matanya memancarkan rasa percaya diri dan keramahan yang membuat siapapun yang melihatnya kesulitan untuk mengabaikannya.
"Hai!", Aku berusaha senatural mungkin memberikan respon, sekuat tenaga menutupi rasa malas untuk berbasa-basi dengan orang asing, terlebih lagi aku masih ingin larut dalam melankoli cerita masa lalu.
Lelaki itu tersenyum untuk kedua kalinya sebelum akhirnya bertanya," Kamu Arista Zahrani Anwar?", pertanyaan yang spontan membuatku mengerutkan kening, sedikit kebingungan. "Betul, saya Arista Zahrani Anwar, dan kamu? Maaf saya sepertinya ngga ingat pernah bertemu kamu sebelumnya", aku berkata jujur.
Lelaki itu mengulurkan tangannya, yang dengan refleks kujabat, tanda resmi perkenalan dimulai, "Saya Ari Jati dan kita memang belum pernah bertemu sebelumnya!".
Lelaki yang mengaku bernama Ari Jati itu meminta izin duduk di mejaku yang kebetulan menyisakan space banyak, sehingga sulit bagiku menolaknya dengan alasan, "Sedang ingin sendiri menikmati malam takbiran!", karena jika memang begitu tidak seharusnya aku berada di working space ini, melainkan mengendap di kamar kosan untuk kemudian menyendiri, meratapi diri dan nasib yang berkolaborasi membuat malam yang seharusnya diliputi rasa bahagia dan ceria berubah bentuk menjadi melankoli yang selalu punya celah untuk ditangisi.
Sebelum aku benar-benar mempersilakannya duduk, laki-laki itu sudah duduk tepat dihadapanku, kemudian dalam hitungan beberapa detik mulai mengoceh tentang dirinya tanpa ditanya.
Namanya Ari Jati, penghuni setia co-working space ini sejak lima bulan terakhir, tepat di saat dirinya diminta perusahaan untuk mutasi ke Malang, menggantikan temannya yang harus balik ke Jakarta mengikuti jejak suaminya yang dipindahkan oleh perusahaan ke Jakarta. Ia cerita menemukan working space ini dengan tidak sengaja lima bulan lalu tepat disaat ia merasa bosan berada di kantor unit dan memutuskan mencari co-working space untuk bekerja secara online. Dia tahu namaku Arista Zahrani dari list pengunjung, membuatku sempat heran bagaimana ia bisa tahu aku adalah Arista Zahrani Anwar hanya dari list pengunjung yang tidak dilengkapi foto apapun. Harus kuakui dia punya insting yang cukup kuat.
Ari Jati bekerja sebagai konsultan sekaligus arsitek di Rumah Arsitek, salah satu start up yang sedang naik daun di Jakarta, dan sekarang sedang merambah daerah lain, salah satunya Malang. Co-working space ini tempaf favoritnya bertemu klien dan berkoneksi dengan banyak orang. Berada ratusan kilometer dari keluarga & teman-temannya membuat Jati merasa perlu mencari keluarga dan teman baru untuk mengisi hari-harinya di Malang. Dan aku pun mengerti kenapa ia kemudian menghampirku dan berceloteh panjang lebar saat ini.
Aku menanggapi semua ceritanya dengan seadanya, tersenyum dan berkomentar seadanya, sebuah bentuk kesopanan yang masih kujaga dan kukontrol keberadaannya. Tak ada timbal balik cerita dariku dan di detik kesekian, sorot matanya menangkap sinyal bahwa aku ingin dia menyudahinya celotehannya dan membiarkanku sendirian.
Dia pun bangkit dari duduknya, tersenyum dan berterima kasih sudah menemani dan mendengarkan ceritanya kemudian pamit. Sebelum pergi, ia memberiku sepotong roti manis bertabur kismis dan sekotak coklat instan untuk menemaniku bekerja malam ini. "Selamat Hari Raya, Ta", ucapnya sebelum berbalik badan.
Punggung Jati menjauhiku, bergerak menuju pintu keluar.
Aku tertegun menatap sepotong roti manis bertabur kismis. Sudah lima tahun aku tidak lagi memakan roti manis bertabus kismis seperti ini. Ada sekelumit cerita yang membuatku mengabaikannya meski sangat ingin memakannya.
"Apa salahnya sebuah roti?", pertanyaan itu berulang-ulang muncul berusaha meyakinkanku bahwa tidak ada yang salah dengan roti manis kismis itu.
Kusingkirkan roti manis bertabur kismis seolah benda itu sesuatu yang haram untuk disentuh, kemudian meminum coklat instan untuk menenangkan pikiran.
Nyatanya, coklat instan kemasan itu tak mampu membuatku lupa. Sekelumit cerita di balik Roti Manis Bertabur Kismis bergelayutan dikepala minta digubris.
To be contine
***
Ribuan detik telah kuhabiskan untuk melumat semua kepahitan, meski begitu tak membuatku lupa akan manisnya rasa yang pernah kau hadirkan. Kamu membuatku mengenal rasa lain dan itu membuatku benar-benar merasa telah hidup. - Arista Zahrani Anwar