22. Puncak Amarah

3.6K 309 36
                                    

• Bila Rasaku Ini Rasamu, Kerispatih🎶

###

"Bahkan, saat kamu sudah berhasil mematahkan hatiku, aku masih tetap disana. Aku diam, menunggu kamu pulang. Meski aku tahu, kalau semua harapanku tak mungkin terjadi. Karena aku tahu, kalau rumah kamu sekarang bukan aku, tapi dia."

•••

SEMUA ini benar-benar membuat Adena muak.

Gadis itu tidak pernah sesakit ini sebelumnya, tapi entah kenapa, kali ini rasanya sakit sekali. Awalnya, Adena sudah mencoba untuk merelakan Raffa sedikit demi sedikit. Tapi, semuanya itu gagal. Karena meskipun dia mencoba untuk merelakan, rasa sakit itu tetap ada tiap kali Adena mendapati Raffa berada di dekat Kirana.

Langit saat itu mulai terlihat gelap. Matahari tak lagi menampakkan dirinya, melainkan berganti dengan awan tebal yang menyelimuti langit. Sore itu, langit menangis.

Sama.

Sama dengan hatinya yang menangis karena Raffa.

Saat itu, Adena tidak lagi takut sakit karena hujan. Terbukti dari dia yang malah membiarkan rintikkan hujan itu membasahi sekujur tubuhnya yang terduduk lemas di atas kursi kayu yang pula ikut basah. Bodohnya, ia rela melakukan hal itu untuk sosok Raffa. Perempuan itu lantas dengan cepat mendongakkan kepala begitu rintikkan air itu tidak lagi mengenai badannya--melainkan ada sebuah payung yang menghalau rintikkan itu dari langit. Adena hanya bisa terpaku sejenak saat sebuah jaket tersampir pada bahunya yang menggigil.

"Badan lo udah gede, tapi sifatnya masih kayak anak kecil." Itu cibiran. Tentu dari Dean. "Malu-maluin. Buat apa lo nangisin cowok kayak dia? Kayak nggak ada cowok lain aja di dunia."

Melihat itu, Adena hanya bisa kembali menunduk. Ia mengusap kasar hidungnya untuk sesaat. "Kenapa lo disini, Yan?"

  Dean menghela napas berat, lantas mendengus. "Jaga-jaga. Takutnya lo malah lupa diri terus melakukan tindakkan diluar akal sehat cuma karena galauin Raffa."

Mendengar itu, Adena hanya bisa bungkam. Ia menatap pada lantai yang ia pijaki yang kini sudah digenangi air.

  Suara dehaman Dean lantas membuat Adena terpengarah. "Jadi niat lo duduk disini sampe kapan? Gue capek kali kalo harus nungguin lo dengan situasi nggak kondusif kayak gini."

Praktis, Adena menoleh. Ia menatap Dean dalam, seperti memohon. "Gue boleh minta tolong, nggak?" pinta perempuan itu. Sebagai reaksi, Dean hanya menyatukan kedua alisnya. "Bawa gue pergi, tapi selain ke rumah."

****

Sebuah instrumen yang Adena kenal persis berjudul Kiss The Rain menggema. Perlahan, suara itu mampu membangunkan Adena dari tidurnya. Dengan keadaan yang belum sadar seutuhnya, Adena bangun. Ia lantas mengucek matanya beberapa kali--berharap agar pandangan samar di depannya semakin jelas. Spontan, kening Adena mengerut saat sadar kalau dirinya kini berada di sebuah ruangan yang didominasi dengan warna putih. Bukan itu yang membuat Adena terkejut, melainkan saat tahu kalau ini bukan kamar miliknya.

Lantas, Adena turun dari tempat ia terlelap. Sambil mengucek mata, gadis itu menuruni tangga yang berada di dekat kamar. Sepersekian detik kemudian, Adena lagi menyerngit begitu melihat sosok laki-laki dengan balutan sweater berwarna abu-abu tengah duduk berhadapan dengan alat musik yang menjadi sumber suara. "Dean?"

Tangan Dean yang awalnya menari di atas tuts piano itu lantas terhenti. Ia mendongakkan kepala ke atas, mendapati Adena dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah matanya. "Udah bangun?"

Lost And FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang