Aku merentet ratusan nama tempat pekerjaan yang sudah mencantumkan posisi yang mereka cari, lumayannya ini untuk bekerja paruh waktu. Cocok untuk ku yang tidak terlalu suka berkutat lama dengan suatu hal.
Stabilo merah ku mulai mencoret beberapa pekerjaan yang tidak sesuai minatku.
Rambut sebahu ku, aku biarkan tergerai di siang ini di dalam sebuah ruangan yang di penuhi banyak mahasiswa dari fakultas lain. Dari kebanyakan mereka, ada yang makan, ada yang hanya sekedar menumpang WIFI saja, ada yang menumpang mengobrol kesana kemari dengan teman sebangku di sebelahnya.
"Ren," Nada suara yang ku kenal itu mulai menyapa gendang telinga ku. Membuatku mendongak untuk menatap sahabat lelaki ku di dalam kelas yang sama.
Aku melihat ia bergandengan dengan seorang gadis yang aku rasa lebih muda dari ku setahun. Gadis itu berkulit coklat bersih dengan rambut yang lebih pendek dari ku. Gadis itu tersenyum ramah padaku. "Eh, Ar." Respon ku tidak antusias. Aku memang orang yang banyak di komen selalu memberikan tanggapan flat dan kalimat yang tidak bervariasi. Maksud mereka, aku hanya berkata dan menjawab pendek semau ku.
"Kenalin, ni Lila," Ujarnya. Aku melirik gadis yang mulai duduk berhadapan dengan ku. "Pacar gue." Lanjut Ardi enteng. Aku mengedikkan bahu seraya mendengus cuek. Ardi sudah tau sifat apatis yang nampaknya mendarah daging di dalam diriku. Dia saja sudah kebal dengan ku yang flat dan paling sedikit merespon. Hanya dia teman yang paling kuat dengan keapatisan ku. Aku juga heran sedari dulu. "Ouh, cantik. Gue Renaya." Balasku sedikit menampakkan emosi untuk kesimpatian ku untuk penuturan Ardi barusan. Rupanya ia mau pamer. Uh, playboy, cewek mana lagi yang akan dia gaet setelah cewek disampingnya ini?
Lila tersenyum kecil saat aku menanggapi ucapan pacarnya. "Kok lo nyari kerja? Buat apa? Uang kiriman ortu lo kurang? Kenapa lo nggak minjem ke gue. Gue ngerasa nggak berguna sebagai temen lo, Ren." Ucapnya mendramatisir. Aku mendelik kasar kearahnya yang tengah memandangi halaman koran yang ku tekuni.
"Lebay, gue cuma mau ngisi waktu." Balas ku sarkas. Tiba tiba Ardi tertawa terbahak bahak. Ia pasti menertawakan aku. Ia terlihat memegangi bagian perutnya, yang kurasa sakit karena tertawa terlalu keras. Tawanya membuat beberapa orang yang ada di tempat ini menoleh ke arah meja kami. Aku segera bersikap wajar. "Kak, maafin pacar aku, ya." Ujar lila dengan ekspresi bersalah. Wajahnya tertunduk memerah.
Aku mengangguk pelan walau ia tidak melihat anggukan ku.
"Uh.. uh.. capek." Peluh Ardi mulai merembes ke kaos merah maroon nya. Terlihat ia menstabilkan nafasnya yang agak ngos - ngosan. "Lo ni jutek, masa mau jadi pelayan? Bisa kabur pelanggan." Komentarnya yang aku ketahui ia pasti melihat ke rentetan yang aku stabiloi merah dengan tanda ceklis di samping tulisannya.
"Sial, sok lo. Sekali lagi lo nyampurin urusan gue, gue kirim lo ke RS bahkan ke liang kubur sekalipun." Balasku sengit dan sinis. Dari ujung mataku, Lila terlihat gemetaran setelah aku mengucapkan kalimat andalan ku. Wajahnya bertambah cemas sedangkan Ardi hanya cengengesan merespon ku. "Tapi, serius Ren, lo bener mau kerja part time? Gue bisa kok rekomenin lo ke temen gue. Barang kali sesuai."
"Nggak, gue mau berusaha dulu. Kecuali dah di tolak berkali kali, baru gue minta bantuan lo." Balasku mantap. Aku mulai santai pada keadaan. Tidak terlalu tegang.
Tangan ku mulai melipat koran itu kedalam lipatan yang lebih kecil.
***
Aku menatap penuh minat kearah seorang gadis dengan seragam SMA ber-rok pendek diatas lutut, wajah Chinese nya terlihat paling mencolok diantara puluhan penumpang yang berwajah pribumi semacam aku.
Dia berdiri sembari bertumpu pada pegangan yang menggantung di atas atap bus kota. Matanya sedari tadi tidak beralih dari banyak gedung pencakar langit di kota ini. Aku merasa ia ada ketertarikan pada bidang arsitektur.
Untuk ukuran seorang gadis muda belia, dia cantik secara alami. Tanpa ada polesan bedak yang tahun ini di gandrungi gadis seusianya. Ataupun lipstik yang berwarna mencolok mirip nenek nenek yang menurutku itu tidak cocok untuk usia anak remaja SMA. mereka nampak lebih tua 4 sampai 5 tahun dari usia aslinya.
"Duduk, gantian ama gue." Ujarku dingin. Dia melirik ku sebentar yang masih duduk di kursi dua penumpang. Sampingku ini bapak bapak yang suka mengepulkan asap rokok, aku sungguh tidak tahan.
Ia melirik kearah bangku samping ku, nampak memastikan apakah kursi yang aku tempati ini akan membuatnya nyaman atau tidak.
"Sini, pake mikir." Lanjutku sembari mulai merapikan tas selempang hitam ku. Aku mulai berdiri, sedikit memiringkan tubuh ku agar ia bisa melangkah lebih bebas.
Aku melihat ia mulai duduk dan ekspresi wajahnya seperti beradaptasi dengan penumpang yang disamping ku tadi. Bibirnya yang sedari tadi mengatup, ku lihat sedikit terbuka.
"A..e.." Tuturnya. Aku menyipitkan mataku, membuat pupil mata ini mengecil. Aku terperanjat dan baru sadar bahwa gadis itu tunawicara saat jemari lentiknya mulai melakukan bahasa isyarat. Ia seperti menunjukkan rasa terimakasih namun ia tidak bisa mengucapkan nya. Aku tersenyum kecil seraya tertunduk. Menatap puluhan pasang kaki yang terlapisi sepatu.
"Jing-nga." Imbuhnya dengan suara yang agak mindeng. Aku yakin bahwa ia baru saja menyebutkan namanya. Dan ia mulai kembali mengajak ku bicara. Aku merasa iba padanya. Sungguh.
"Jingga? Nama lo bagus," Timpalku. Akhirnya kita terpaut dalam suatu perbincangan di sela sela keterbatasannya. Aku mulai memaklumi nya. Sedikit demi sedikit.
***
YOU ARE READING
Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)
Storie d'amoreDengan segenap jiwa dan keberanian aku mencinta Dan aku juga tau kesalahan terbesarku adalah mencintaimu, sejenisku. Sejak awal aku tau kita berbeda Aku ini bagaikan beruang madu, dan kamu beruang kutub Kamu putih aku coklat Itulah perumpaan kita. R...