Nafasku seketika tercekat. Sekali lagi kupandangi layar hpku. Yaps! Display Picture nya berganti foto anak gadis SMA dengan seragam lengkap tersenyum. Siapa gadis ini? Apa maunya dia? Dia deket sama aku jadiannya sama orang lain? Aku menghembuskan nafas kasar, ku telfon Cika, sahabat SMPku yang sekarang masih sekelas sama dia, Karel. Nada menyambungkan terdengar, sembari menunggu jawaban telepon dari Cika, pikiranku meracau. Bukannya baru minggu lalu dia menanyakan akan perasaanku? Banci, umpatku dalam hati. Yakali cowok nanyakin perasaan cewek duluan. Se gengsi gengsinya cowok mana ada kayak dia? Bukankah baru tiga hari lalu dia menasihatiku? Teringat isi chatnya Kamu belajar buat apa? Biar pinter kan? Terus kalo pinter buat apa? Buat dapetin kuliah yang bagus? Biar dapet pekerjaan yang layak terus gaji yang mapan. Sampe akhirnya untuk mengejar itu semua kamu relakan waktu istirahatmu. Hingga akhirnya gaji hasil jerih payahmu akan kamu gunakan untuk mengobati kesehatanmu yang lemah karena lelah. Siklus yang menyakitkan. Bilang cepat sembuh aja masih berbelit belit. Gumamku seraya tersenyum. Lupa akan status dia yang sudah berpacaran.
"Iyaa El ada apa?" Suara Cika tampak riang di seberang sana. "Pacar barunya cantik, putih. Pantes aku ditinggal." Ucapku serambi tersenyum mengingat foto profilnya tadi. "Kamu sudah tau semuanya?" Tiba tiba saja suara Cika disana berubah sendu. "Iya, sapa yang gak bakalan tau kalo sudah diumbar seperti itu? Katakan cepat. Kenapa?" Kataku tak sabaran, aku ingin sekali tau apa alesan dia ninggalin aku. Iya sih aku tau aku gaperlu menanyakan itu lagi. Dia -pacar baru Karel- sudah pasti satu lebih unggul di depanku, dia cantik, putih, dan pintar berbahasa inggris. Sungguh idaman si Karel. "Kata Karel, dia ngga bisa. Dia ngga bisa kalo harus pacaran sama anak sekelas atau mantan teman sekelasnya. Menurut dia, temen sekelasnya adalah saudara, ngga lebih. Dia gamau kalo suatu saat dia pacaran dan putus, terus bakal ada kecanggungan hubungan pertemanan di dalam kelas" jelas Cika. "Oh gitu. Yaudah makasih." Kataku, tanpa terasa air mataku menetes. "Iyaa El, ngga apa apa, kamu yang sabar ya." Aku mengangguk, walau ku tau si Cika ngga bakalan ngeliat anggukanku. Cukup dia merasakannya. Ku tutup telfon si Cika itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia
Teen FictionYang sakit adalah ketika kamu berusaha untuk bertahan. Namun bagaikan dihapus secara perlahan olehnya. Bukan kamu prioritasnya. Bukan kamu andalannya. Bukan kamu penghiburnya. Bahkan ketika kamu setia itupun tak berharga dimatanya. Kamu dianggap jah...