4. MENJEDA SEGALA DIALOG

439 83 19
                                    


—sempiternal

Kesimpulan dari pertemuan tak sengaja nya dengan Raesaka di warung sop siang tadi adalah Swas tidak bisa tidur ketika malam menjelang. Sudah mencoba berbagai macam cara pun hasilnya tetap sama, Swas gelisah dan entahlah, ia merasa marah dan kecewa mengetahui Raesaka ternyata sudah melupakannya. Jika Tere Liye pernah berkata di dalam salah satu karyanya bahwa suka atau tidak, hidup akan terus berlanjut. Biar waktu yang menjadi obat. Kini, Swas harus mempercayai itu.

"Lesu amat mukanya? Masih sakit?" Praha menyambut Swas yang masuk ke ruang penyiaran dengan wajah yang pucat akibat sama sekali belum diberi riasan. "Minum dulu." Tangan Praha membuka segel botol air minum dan menyerahkannya ke Swas.

Swas memegang kepalanya yang pening. Ia mengambil botol air minum dari Praha dengan mata yang menatap ke permukaan meja. "Buruk, Pra," ucapnya pelan dengan diimbangi gelengan kepala.

Alis Praha terangkat ke atas. "Maksudnya? Buruk gimana?" tanyanya cemas.

"Buruk karena semalem gue nggak bisa tidur. Setiap gue berusaha untuk menutup mata gue dan bersiap pergi ke alam mimpi, laki-laki itu datang lagi, Pra. Gue nggak tau apa aja yang belum selesai di antara kita karena menurut gue, gue sama dia udah kelar."

"Laki-laki yang dulu pernah lo ceritain pas di Ranu Kumbolo?"

Swas mengangguk.

"Oh, I see. Ternyata dia orangnya. Gue baru tau bahwa ada orang yang secara langsung sukses bikin lo pusing setengah mati sampai menepi dari Jakarta, lalu ke Yogya, kemudian berhenti ke Banda Neira, sebelum akhirnya balik lagi ke ibukota. Dari penampilannya, gue bisa lihat dia orang yang baik, penyayang, perhatian, atau bahkan sedikit posesif. Ya, kan?"

Swas mengurut pelipisnya sendiri. Siang ini ia benar-benar merasakan kepalanya amat berat sebelah. Mungkin karena efek tidak tidur semalaman juga. "Iya. Dia tipe orang yang kalau sayang sama orang, sayang banget. Begitupun kalau dia benci sama orang. Nggak tau deh gue termasuk yang dia sayang atau yang dia benci," kata Swas sambil menggelengkan kepalanya.

"Udah, nggak usah dipikirin. Hari ini kita bakal kedatangan tamu." Praha menunjukkan pesan singkatnya dengan Mbak Prima. "Tapi gue nggak tau orangnya kayak gimana. Tumben banget nih Mbak Prima nggak langsung nunjukkin foto atau biodatanya. Doi cuma ngasih tau gue kalau bakal ada guest star yang akhir-akhir ini lagi booming." Lalu, Praha menaruh ponselnya di atas meja.

"Disiarin di live Instagram juga?" tanya Swas sebelum ia membuat pengumuman di Instagram Dialog Radio.

"Nggak. Tapi yang pasti, siaran kali ini bakal jadi trending topic. Itu yang Mbak Prima bilang ke gue."

Siapa sih orang yang bakal jadi bintang tamu? Sehebat apa dia? Pengusaha muda? Peraih gelar terbanyak? Atau apa? "Jam berapa siarannya?" Swas membereskan kabel-kabel yang berserakan di meja. Ia juga merapikan mikrofon, melap komputer, dan menyediakan makanan ringan. Siapa tahu saja bintang tamu kali ini tengah kelaparan.

"Lima menit dari sekarang."

Kalimat yang baru saja Praha ucapkan membuat Swas menganga. Ia kemudian melirik jam tangannya yang ternyata menunjukkan pukul sebelas pagi kurang lima menit. "Sumpah? Pra, kita baru datang tiga puluh menit yang lalu, lho. Itu serius bintang tamunya bakal datang on time? Nggak kejebak macet? Gila, kalau sampai dia datang on time, berarti ke kantor kita pakai helikopter." Katakanlah Swas berlebihan atau yang lainnya, tapi sungguh, belum ada bintang tamu yang diundang Dialog Radio yang benar-benar datang tepat waktu. Pasti saja molor setengah sampai satu jam lamanya.

SEMPITERNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang