***
Aku mengintipnya dari jarak 15 meter dari luar masjid milik pesantren Al - Munnawar. Disana aku mendapati Aziya tengah fokus dengan kitab Al Qur'an nya. Bibirnya mulai melantunkan satu persatu ayat Al Qur'an.
Aku mulai siap menaiki tangga yang tidak lebih dari lima. Aku sudah memyiapkan mental sedari malam untuk bisa menyapa nya, dan bersikap wajar didepannya. Tidak ketus juga tidak terkesan gugup. Aku mulai menghela nafas perlahan.
Menatap nya sebentar dari kejauhan. Terlihat ia masih setia dengan benda yang mirip lidi namun berwarna.
"A-assalamualaikum," Ucapku terbata bata karena belum fasih benar mengucapkan kata itu. Aku saja baru belajar kata itu dari Annisa, kebetulan dia itu anak kecil yang suka main ke kost ku. Membawa makanan dari orang tuanya yang kebetulan pemilik warung nasi di depan gang.
Kami bersitatap sebentar karena setelahnya ia langsung memalingkan pandangannya kearah Al Qur'an yang telah ia tutup. Kini aku dapat melihat wajahnya secara puas, cadar itu tidak lagi ada tersampir didepan wajahnya.
Aku mulai berjalan mendekatinya walau jantungku dan langkahku tidak sama cepatnya. Rasanya aku berjalan pelan. Namun, entah mengapa aku merasa debaran jantungku ini lebih kencang dari biasanya.
"Renaya, kamu kesini?" Ia memulai pembicaraan diantara kami. Ia mulai membuka Mukena bagian bawahnya di hadapan ku.
Ekspresi ku tiba tiba kelabakan. Mau ku jawab apa pertanyaan nya? Aku ini sudah seperti jelangkung, datang tidak di undang pulang pun tidak di antar. Aku ini tidak diharapkan sebenarnya untuk datang. "Ayo, duduk." Ia mempersilahkan ku untuk duduk di karpet hijau masjid. Aku duduk canggung, rasanya ingin bersikap wajar, tapi entah kenapa aku sulit sekali mengendalikannya.
"Apa kabar?" Tanya ku pelan. Aku tidak bisa menatapnya lama lama. Aku terlalu takut dalam kecanggungan ku. Aziya tersenyum kecil di depan ku. "Alhamdulilah, bagaimana dengan mu?"
"Baik," Jawab ku singkat.
Dan detik berikutnya aku dan ia tenggelam dalam keheningan. Kita sama sama terdiam. Aku pun terjebak untuk memikirkan dan berhalusinasi beberapa hal. Hal indah tentangnya.
Aku rasa ia pun sama denganku, seperti sedang memikirkan satu hal yang menjadi fokusnya saat ini.
***
Aku kembali mengangkat kamera kecil ku yang ku gantungkan talinya di leherku. Mengarahkan lensa dan fokusnya ke arah objek ku yang tengah ku shoot di areal persawahan yang masih asri dan banyak tanah berundak yang dijadikan terasering.
Ardi asyik duduk di motor hitam nya dengan tangan dan mulut yang penuh dengan Snack yang aku sempat beli di supermarket dekat kampus.
Baju casual ku sedikit tertiup angin, juga membuat anak anak rambutku ikut mencuat dari barisannya.
Suara kripik kentang yang mulai di kunyah Ardi begitu terdengar oleh ku. Ardi memang seperti ini, tidak pernah jaim saat berada di dekatku. Ia menjadi Ardi yang apa adanya. Tanpa topeng sok cool dan sok kalem nya.
Semua pemikiran itu membuat ku lelah sendiri, aku menghela nafas panjang. Dan mulai berjalan mendekat ke Ardi.
Aku mulai mengangkat kamera ku untuk memotret ekspresi Ardi yang membuatku agak keki karenanya.
Sungguh, hasil jepretan ku kali ini membuatku puas, rasanya jepretan ku ini lebih bagus dari yang lainnya. Sedari tadi aku hanya memotret pemandangan, tanpa berfikir bahwa ekspresi Ardi yang tadi menjadi daftar favoritku.
"Eh, lo motret gue!" Pekiknya tidak terima. Aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Cuek saja. Dengan gaya apatis ku, aku mulai mencomot kripik kentang yang Ardi makan dari tadi.
Terdengar Ardi berdecih sebal di sampingku yang telah duduk asyik bertengger di jok motor nya yang di modif. "Buat si Agnes, baek kan?" Jawab ku sembari menepuk nepuk kan sisa remahan kripik yang masih ada di tangan. Ardi langsung menyimpan kripiknya di plastik supermarket yang ia gantungkan di gagang spion. "Gila, lo mau bikin si Lila ngamuk?" Tanya nya gusar.
Aku tersenyum kearah nya. Senyuman penuh arti. "Canda. Buat koleksi salah satu manusia langka aja." Balasku cepat.
Ardi langsung merebut paksa kamera ku yang masih terpasang di leher. "Gue apus! Nggak mau!!! Gue bukan salah satu dari koleksi lo, ya. Lo pikir gue si cupu Hafidz yang sering lo potret! Itu artinya lo nyamain gue sama kayak dia. Gila, seganteng ini lo samain gue ama dia. Mata lo udah nggak beres?" Gerutu Ardi sembari fokus ke LCD kamera. Terlihat ia mulai mencari fotonya yang sudah ku save. Dengan berat hati, aku juga malas membalas omongannya.
Ardi itu jauh lebih menyebalkan daripada anak - anak perempuan di kampus dan sekolahan ku dulu. Jika di depan orang banyak Ardi berubah menjadi pribadi yang kalem. Membuat lawan jenisnya tertarik karena merasa tertantang untuk dekat dengan Ardi. Tapi, anehnya jika dekat dengan aku dia menjadi Ardi yang sering ibunya ceritakan. Ardi yang kekanak kanakan dan super duper membuat keki.
Manik mata ku menatap langit yang mulai terselimuti awan hitam yang bergerombol datang menutupi sang mentari. Nampaknya, Tuhan akan memberikan berkahnya sore ini di kota ku yang sudah lama tidak tersiram berkahnya. Saat ku sempatkan untuk melirik Ardi, ternyata ia masih sibuk dengan tombol tombol yang ada di kamera ku. Terlihat bayangan yang memantul di bola matanya.
"Lebay, gue cuma motret lo sekali. Sisanya pemandangan ama si Hafidz." Ujarku ketus.
Ardi menghela nafas sebentar dan membalikan kamera ku lagi. Dengan enaknya ia memakaikan kamera ku di leherku lagi. Ia bahkan tidak canggung melakukannya. Mungkin benar, jika Ardi itu sahabat terbaik ku.
"Balik yuk, langit kayaknya nggak mendukung niat lo buat cari objek jepretan." Ardi mulai menyadari bahwa langit mulai kelabu dan menghitam.
Aku mengangguk kecil mendengar ajakannya.
***
YOU ARE READING
Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)
DragosteDengan segenap jiwa dan keberanian aku mencinta Dan aku juga tau kesalahan terbesarku adalah mencintaimu, sejenisku. Sejak awal aku tau kita berbeda Aku ini bagaikan beruang madu, dan kamu beruang kutub Kamu putih aku coklat Itulah perumpaan kita. R...