Namanya peri hujan. Dia hanya terlihat saat rintik hujan mulai turun. Wajahnya teduh, seakan memberi kedamaian bagi siapapun yang menatapnya.
Berbeda denganku yang membuat siapapun terkejut, bahkan bersembunyi di bawah selimut mereka agar tidak perlu bertemu.
"Mengapa kau terus menatapku?"
Aku tergagap saat dia memberi pertanyaan itu. Tidakkah dia sadar bahwa keindahannya memukauku? Aku sampai menyamar, melepas jubah kebesaranku demi bisa duduk dan menatapnya sesaat.
Namun hari ini ada yang berbeda. Matanya yang biasanya berbinar saat melihat rintik hujan, berbalik sendu. Seluruh tubuhnya terlihat lunglai.
"Ada apa?" Tanyaku.
Dia menoleh dan memiringkan kepalanya untuk melihatku lebih jelas. "Aku sedang tidak menyukai hujan."
"Bagaimana bisa?" Aku mulai bingung. Bagaimana mungkin seorang peri hujan tidak menyukai hujan.
"Pagi ini, karena hujan, seseorang yang sudah lama kusukai harus pergi dari dunia."
Aku masih tidak paham. Namun memilih diam, menunggunya melanjutkan maksud perkataannya.
"Dia mengalami kecelakaan karena jalanan yang licin akibat hujan," lanjutnya sambil membuang nafas berat.
"Peri hujan tidak seharusnya membenci hujan." Aku pun sebenarnya tidak menyukai hujan, tapi aku lebih membenci wajah sendunya.
Dia menoleh padaku sambil tersenyum lebar kemudian membuka payung berwarna jingga. "Kau tahu, kalau dewa petir saja membenci petir. Kenapa aku tidak boleh membenci hujan?"
Kemudian dia berjalan dengan anggun, membelah derasnya rinai hujan.
Aku mengernyitkan dahi sambil berbalik dan bertanya dalam hati, bagaimana dia bisa tahu siapa aku?