5. SAPAAN YANG TIDAK KREATIF

423 73 24
                                    

—sempiternal

"Setan lo berdua! Kenapa nggak bilang ke gue kalau radio yang dimaksud itu penyiarnya Swas?" Geni dan Semesta hanya ketawa-ketiwi melihat temannya yang tengah mengumpat kesal di hadapan mereka. Pergi ke Dialog Radio dan menjadi narasumber penyiar di sana sama sekali bukan ide Raesaka, ia hanya ikut-ikutan saja. Dua temannya itu yang merencanakannya.

Geni membela diri. Ia maju ke depan dan menepuk-nepuk pelan pundak Raesaka yang saat ini menghadap ke kaca pembatas kantor. "Udah lah, nggak usah diambil pusing. Katanya, lo mau lihat Swas lagi. Ya udah, gue kabulin deh permintaan lo."

"Ya, tapi nggak dadakan juga, Geni," geram Raesaka menatap tajam ke arah laki-laki itu. Ia melepaskan tangan Geni yang nangkring di pundaknya. "Nggak semudah itu untuk gue ketemu sama dia. Butuh banyak persiapan dan kesiapan. Nggak segampang itu untuk gue hadir dan setor muka di depan dia dan hampir aja bilang, 'Hai, Swas! Kapan lo balik ke Jakarta? Gue udah cari lo sampai ke Maluku, tapi nggak ketemu.' That's not joke, Geni."

"Lah? Sekarang gue tanya, persiapan lo buat ketemu Swas udah sampai mana? Kesiapan lo untuk hadir lagi di depan Swas udah berapa persen? Dari yang gue amati sejak Swas pergi, lo cuma berharap dan berdoa sendirian, tanpa ada aksi. Lo nggak benar-benar mencari Swas di Yogya, nggak betul-betul pergi ke Banda Neira untuk menjemput dia. Lo justru mencari cara untuk menyembuhkan diri lo sendiri, melupakan Swas dengan cara mengikuti jejaknya. Badut lo, Re."

Raesaka mengusap wajahnya kasar. Kemudian ia melepas jas hitam yang dipakainya, menggelung kemeja putih sampai ke siku, membuka dua kancing teratas kemejanya, lalu mengacak-acak rambutnya asal. "Terus gue harus gimana? Melihat dia yang canggung dan kaku ke gue pas di Dialog Radio, ngebuat gue semakin takut buat ngajak dia pulang."

"Lo selalu tanya 'Gue harus gimana?' setiap gue atau Geni ngomongin Swas. Yang seharusnya terjadi adalah lo ambil aksi. Bukan justru diam aja dan berfantasi kalau Swas bakal balik lagi dengan cuma-cuma. Nggak ada, Re, orang yang mau balik lagi ke rumah lama kalau rumahnya sendiri hancur lebur. Caranya supaya rumah itu kokoh lagi adalah lo harus rela bikin pondasinya sendirian." Semesta membuka percakapan setelah ia puas menonton kedua temannya saling mengeluarkan amarah. Semesta sendiri tidak tahu Swas itu seperti apa sebelumnya. Ia hanya mengetahui kalau sosok Swas begini dan begitu dari bibir Raesaka maupun Geni.

"Udah, deh," Geni kembali mengambil atensi. Ia mengambil ponsel milik Raesaka yang tergeletak di atas meja, lalu mencari kontak Swas dan menghubunginya lewat telepon. "Kalau tiga kali nggak diangkat, lo harus ketemu dia. Basa-basi kayak anak baru puber atau apalah gitu. Gue tau lo bucin banget sama dia, Re, dan otak lo ini, penuh sama cara-cara kreatif untuk mencintai perempuan itu."

Ketiganya melihat ke arah ponsel Raesaka. Satu panggilan dari Raesaka ditolak oleh Swas. Pada percobaan kedua, panggilannya tidak terjawab. Tapi di kesempatan ketiga, sambungan itu terhubung. Itu membuat Geni—selaku yang memegang ponsel—berjengit kaget dan hampir melepaskan ponsel Raesaka.

"Angkat, tuh, angkat," kata Semesta geregetan.

"Sssttt." Geni memberi peringatan kepada Raesaka dan Semesta agar diam. "Halo, Swas? Iya, ini gue, Geni. Sorry kalau ganggu. Tapi ada yang mau berterimakasih ke lo karena udah mau jadiin kita narasumber Dialog Radio." Lalu, Geni menyerahkan ponsel itu ke pemiliknya.

Awalnya Raesaka menolak, tapi akhirnya nurut juga. "Oh, halo, Swas?" Raesaka berjalan menjauhi kedua temannya. "I'm so happy now. Glad to hear your voice again. Talk to me if you need. Cause as you said, I'm your ears. Right?"

SEMPITERNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang