Malam itu langit gelap, memang gelap. Maksud saya, gelap nya tampak berbeda. Mungkin karena hujan akan turun, saya pikir. Saat itu saya baru saja menyelesaikan pekerjaan saya di... sebut saja rumah sakit umum Bintang Kejora. Bukan, bukan nama asli kok. Hanya saja saya ingin melihat bintang-bintang seperti di kampung saya seperti di Padang sana. Di kota ini saya hanya bisa melihat gedung-gedung tinggi jika mendongak, serta kemacetan yang tidak ada habisnya di negara ku tercinta ini. Iya, negaranya saja bukan pemerintahnya.
Aku menghela napas tatkala pikiran bahwa hujan akan turun terlintas di pikiran saya. Namun temanku yang bernama Benny tiba-tiba juga melintas, bukan di pikiran saya, tapi di hadapan saya. Dengan menggunakan jaket biru kesayangannya yang selalu ia pakai tersebut, Ia tersenyum sumringah bak pegawai yang baru melihat saldo nya di atm jika awal bulan. padahal saat itu dalam proses menuju akhir bulan, entah kenapa senyumnya sangat lebar saat itu.
Aku pun membalas senyumannya yang terlihat ikhlas itu. Namun senyumku tidak ikhlas, bukannya saya sombong. Ini hanya senyum mengejek karena Benny masih saja memakai jaket lusuh dari mantannya yang cantiknya melebihi bidadari itu, kata Benny sih, bukan saya, bukan orang lain juga.
"Eh dek Dok, kok belum pulang?" Tanyanya. dek Dok adalah panggilan khas dari Benny karena saya nyatanya lebih tua darinya namun lebih senior juga, jadi terciptalah dek dok. Terdengar seperti bahasa inggrisnya anjing ya? tapi bukan itu. Saya adalah dokter yang 'lumayan' senior di sini.
"Biasa mas, malam ini dijemput lagi" jawabku dengan gaya sok asik. "masih ada aja jaket itu, udah ah mas, udah bisa dijadiin kain lap tuh" candaku.
"padahal tadi awalnya mau ngajak dek dok pulang, eh akunya diginiin. Yaudah deh, pulang dulu ya!" serunya pura-pura bermuka masam, tapi tertawa lagi kok. Benny ini memang aneh orangnya. "okedeh duluan ya!" lalu dia pergi dengan motor gede merahnya.
Tak lama setelah Benny pergi, datanglah teman saya yang saat itu tinggal bersama dengan saya. kebetulan dia juga baru selesai kerja. Anehnya, saya merasa akhir-akhir ini dia tidak senang dengan keberadaan saya, wajahnya masam kaya jeruk nipis. Namun sebelum saya berpikir yang aneh-aneh, saya selalu istighfar dan mengganti pikiran saya menjadi positif. Mungkin dia lelah karena baru selesai bekerja, pikirku. Lalu aku menaiki motornya di belakang sebagai penumpang seperti biasa. Terkadang, setelah banyaknya interaksi dengan orang-orang selama ini membuat feeling saya menjadi kuat, atau hanya prasangka saya saja? saya mengira lagi seperti itu. Seringkali saya mempunyai prasangka negatif untuk beberapa detik, namun karena tidak ingin berburuk sangka, saya selalu berusaha untuk berpikir positif terhadap orang-orang.
Saat itu, di perjalanan menuju rumah kami hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun terucap. Sepertinya memang ada yang aneh, pikirku lagi.
Sampailah kami di rumah kami yang kecil namun nyaman itu. Tapi sejujurnya saya tidak ingin berbohong, tapi memang akhir-akhir ini saya merasa canggung dengannya, entah apa salah saya sehingga teman saya sering mengabaikan saya. Saat itu, saya teringat akan kata-kata dari Pidi Baiq, Jangan merasa diabaikan, nanti kamu merasa benar begitu. Lagi, saya tepis pikiran buruk saya terhadap hal ini.
Setelah saya berganti dengan baju yang lebih santai, saya langsung saja mengaktifkan ponsel saya yang bukan merek apel tersebut. Jujur saja, saya bukan orang yang suka mengikuti trend. Saat itu pun, walaupun kami sedang berada di kamar yang berbeda, saya masih merasakan aura-aura yang tidak sedap. Bukan tentang makanan, tapi ya aura aja, seperti ada dinding di antara kami, walaupun memang benar dipisahkan oleh dinding.
Biasanya saya tidur dengannya dan satu teman saya yang lain yang belum pulang saat itu. awalnya sebulan yang lalu saat kami baru saja pindah, mereka sendiri yang meminta saya untuk tidur di kamar belakang bersama. Permintaan mereka masih segar di pikiran saya.
"Lis, kamu tidur bareng kita aja, si Jiji sama adiknya biarin aja sekamar jadi kesannya kita gak gangguin mereka, kan mereka kakak dan adik nih, pasti bakalan canggung kalau ada salah satu di antara kita, gimana?" sarannya, maksudku mereka.
Saya bukanlah orang yang suka mempersulit apapun, pemikiran saya simple, dan untungnya saya bukan orang yang suka mempermasalahkan apapun. Tentu saja, saya pun setuju.
Setelah 5 menit saya merenung atas apa yang terjadi, akhirnya saya mengerti sekarang. Ternyata teman saya Jenny, sekarang ingin tidur dengan nyenyak dengan tempat yang lebih luas. ah tentu saja pikirku, jadi selama ini aku hanya mengganggu jam tidur serta kualitas tidur nya. Karena tempat tidur yang besar itu ditiduri oleh 3 orang sedangkan dulunya dia tidur sendiri, nyaman dan puas juga. Saya masih teringat juga malam kemarin dia pindah ke kamar 1, saya juga berpikir seperti apa yang saya pikirkan sekarang, dia hanya ingin tidur dengan nyaman, karena saya di kamar 2, dia tidak merasa nyaman lagi, begitu pikirku. siangnya dia menyindirku namun nada bicaranya seperti menyalahkan ku.
"aku butuh tidur loh teman-teman! tadi malam aku mengungsi di kamar sana dan tidur di kasur tanpa kaki karena disini sempit, jadi sekarang jangan bangunkan aku!" dia mengatakan itu saat Ros, teman sekamarku juga, membangunkannya untuk shalat Zhuhur.
Dan sekarang aku mengerti kenapa akhir-akhir ini suasana hati kami, atau mungkin 'dia', agak kurang harmonis.
Saat itu saya merasa sakit hati, tidak seperti biasanya saya merasakan hal ini. setelah saya sadar, saya ingin menangis, menangis di pelukan ibu saya yang sekarang mungkin lagi tidur nyenyak di rumahnya. Saya sendiri masih tidak mengerti kenapa saya ingin menangis, apakah hal kecil begini berhak ditangisi? Namun tidak bisa di pungkiri kalau saya merasa benar, benar saya diabaikan.
Lalu saya beranjak dari lantai menuju kamar 2, berniat ingin tidur karena keesokan paginya saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk masak karena esoknya adalah giliran saya dan Jiji, teman saya yang di kamar 1. Saya membawa sekaligus peralatan perang saya (baca: charger ponsel dan earphone), namun ketika saya hendak membuka pintu kamar 2, saya melihat Jenny sudah terlelap. Satu hal yang membuat pikiran saya makin kacau adalah posisi tidurnya yang berbeda. Biasanya kami tidur bertiga dengan posisi horisontal, bukan berdasarkan kepala tempat tidur karena jumlah kami melebihi batas normal tempat tidur. Namun saat itu Jenny tidur dengan arah vertikal. Saya tidak bisa mengatakan apapun karena itu tempat tidurnya dan saya hanya menumpang di kamar itu. Tapi tetap saja, mungkin jika kalian berada di posisi saya, kalian akan mengerti sakit hati saya ini.
Dengan langkah gontai saya kembali ke kamar 1, menatap layar ponsel yang gelap karena tidak saya hidupkan. Saya terus berpikir, apa salah saya sehingga saya di benci seperti ini. Tentu saja, ini artinya saya di benci bukan? Saat itupun saya memang benar-benar ingin menangis. Bukan saja ingin, memang sudah menangis. Tidak sadar saya kalau air mata sudah keluar. Sakit hati bukan main. Karena dengan posisi seperti itu, saya sudah paham bahwa itu tandanya dia tidak menerima saya tidur di tempat tidur itu. Mungkin kalian berpikir bahwa saya bisa saja tidur di sebelahnya. Tidak, itu untuk Ros, saya hanya extra. ya kalau di sinetron sih peran saya yang suka lewat lewat itu, tidak penting. Saya sudah benar-benar tidak bisa membendung air mata ini. Saat itu yang ada di pikiran saya hanyalah rumah, rumah bapak dan ibu saya. saya merindukan mereka, saya ingin menelpon mereka dan mencurahkan semua keluh kesah yang saya hadapi selama ini tapi saya tahan karena saya tidak ingin membuat ibu dan bapak saya khawatir. sebagai orang tua pasti merasa sedih jika anaknya di perlakukan seperti ini.
Saya selalu berpikir dan bertindak bahwa memprioritaskan orang lain adalah hal yang harus dilakukan mengingat profesi saya yang sudah seharusnya saya memikirkan orang lain dahulu daripada saya sendiri namun secara tidak adilnya saya selalu merasa bahwa orang lain memprioritaskan saya jika ada perlunya saja. Apakah hidup ini selalu berjalan seperti itu?
Sekarang saya sedang duduk di depan kipas angin kecil ala anak kosan. saya masih di kamar 1, tidak tahu mau tidur dimana, mengingat saya tidak di terima di kamar 2. Di kamar 1 sebenarnya bisa saja, tapi gengsi saya tinggi. Jadilah saya tidur di lantai, semoga saja besok pagi saya tidak masuk angin.
YOU ARE READING
Celengan Keluh
Non-FictionMencari arti dari kebahagiaan yang di dapatkan oleh kesendirian