Prolog

17 3 0
                                    

Aku menatap pemuda jangkung berwajah yang sedikit mirip dengan wajahku di hadapanku dengan ekspresi yang tentunya malas.

Mau apa dia kemari?

Apakah belum cukup dengan apa yang telah dia lakukan dengan hatiku selama empat belas tahun?

Sudahlah, melihat wajah lelaki yang masih satu darah denganku ini hanya membuatku muak dan mual. Lebih baik aku pergi.

"Ofie," Baru saja aku membalikkan tubuhku, pria yang tak lain adalah kakak ketigaku itu memanggilku. Aku memejamkan mataku pelan. Masih dengan posisi memunggunginya, aku lalu bertanya datar. "Apa?"

Bahkan, sekedar melihat wajahnya pun aku tak bisa. Hati ini sudah terlalu terluka dengan goresan pedang yang ia buat.

"Aku mohon kembalilah, Fie. Kami semua menunggumu,"

Aku terdiam. Lidahku mendadak kelu. Aku tak bisa membalasnya dengan perkataan apapun.

Menunggu, huh?

Lucu sekali.

Dia pikir aku cukup bodoh untuk semua kebohongan yang selalu terucap di bibir mereka?

Dia.

Dad.

Mom.

Kak Nady.

Semua sama saja.

Satu satunya yang peduli padaku di keluarga terkutuk itu hanyalah kak Sabrina. Sang kakak tertua di antara kak Nady, kak -ukh, aku tak sanggup menganggapnya sebagai salah satu kakakku lagi- Dariel, dan aku tentunya.

Uh plis Fie, lupakan saja soal semua orang orang memuakkan dan menggelikan itu.

"Fie," lirih kak Dariel lagi.

Aku memejamkan mataku sebentar. Rasanya aku ingin sekali menangis sekarang. Menangis mengingat segala perlakuan mereka padaku.

Oh tidak. Aku tidak boleh sampai benar benar menangis!

Aku kuat!

Lagipula buat apa aku menangis lagi seperti hari hari dan tahun tahun sebelumnya?!

Aku bahkan tak bisa lagi mengeluarkan sekedar air mataku untuk mereka. Terutama dia.

Hatiku sudah terlalu terbiasa disakiti karena semua perkataan dan kelakuannya.

"Kau itu payah! Kau itu tak akan pernah bisa menang! Kau itu pengecut! Selamanya pengecut tetap pengecut! Kau itu rendah! Sangat rendah! Lebih rendah dari seekor kambing!"

Aku tau aku lemah. Baru saja dikatai begitu, langsung menangis dan sakit hati.

Tapi, begitulah aku.

Dan itu wajar saja. Ia mengataiku seperti itu ketika umurku masih berusia sepuluh tahun!

Huh, benar benar tak punya hati.

"Kau bukan adikku. Kau bahkan hanya seorang anak pungut. Dan aku tak akan pernah mengakuimu sebagai adik kandungku, Pig."

Pig, huh?

Aku tau dia tak akan pernah sekalipun mau mengakuiku sebagai adik kandungnya.

Tapi, bisakah ia berhenti mencelaku?

Bahkan hanya dengan tatapan matanya yang tajam dan penuh kebencian itu, ia berhasil menghancurkan hatiku. Lagi dan lagi.

"Bagaimana, Pig? Sudah menyerah?" Tanyanya padaku. Ia melipat kedua tangannya di dada lalu menatapku dengan tatapan penuh kebencian dan meremehkan.

Aku hanya terdiam di tempatku. Tangan kananku sibuk mengelus elus kakiku yang terkilir. Kemudian mengelus tangan kiriku yang memar.

Mataku sungguh tak berani menatap matanya. Tatapan itu, yang ada hanya membuatku terluka dan terus terluka.

Cih. Payah.

"Huh, baru latihan saja sudah memar dan terkilir. Bagaimana ketika pertandingan nanti? Aku berharap kau enyah saja. Kau hanya membuat malu kami. Dasar Pig!"

Dan ia lalu pergi meninggalkanku sendirian begitu saja.

Air mataku perlahan lahan keluar dari sarangnya. A-aku sungguh tak bermaksud mempermalukan tempat pelatihan karate milik Dad ini.

Aku memang payah dalam hal bela diri. Apalagi olahraga dan menyanyi.

Aku sungguh sangat sangatlah payah.

Air mataku lalu perlahan lahan menetes. Dan aku dengan cepat menghapus air mataku itu dengan lengan kiriku.

Aku tak boleh terlihat lemah!

"Ofie!" Seru kak Dariel. Aku seketika berbalik dan menatapnya nyalang. "Tutup mulutmu, brengsek."

Ia terlihat menatapku terkejut. Ini memang pertama kalinya aku membentak dan berkata kasar pada orang lain. Apalagi yang masih satu darah denganku.

Yeah, salahkan Dad yang begitu mementingkan soal tata krama pada seluruh anak anaknya. Padahal dia sendiri tak pernah sekalipun memakai tata krama itu.

Tapi kini, aku sungguh tak peduli lagi dengan segala tata krama sialan dari Dad itu!

Ini aku!

Apa kalian pikir aku mau terus terusan diperlakukan seperti ini?!

Kesabaranku rasa rasanya benar benar habis saat ini!

"Kau memintaku kembali?!" Aku berjalan menghentakkan kakiku kasar kearahnya. Mataku masih menatapnya nyalang. "Kau memintaku kembali setelah apa yang kalian semua lakukan padaku?!"

PLAK!

Ia memegangi pipinya yang memerah akibat tamparanku dengan wajah yang masih sangat terkejut.

'Kan sudah kukatakan, kesabaranku kali ini benar benar habis!

"Dan jawabanku adalah ini." Kataku dengan suara dan nafas yang mulai tenang.

Oh, rasanya aku sangat puas sekali melakukannya!

"O-Ofie...,"

"Aku mohon, pergilah!" Seruku menahan air mataku yang serasa ingin tumpah kembali.

Kak Dariel menatapku sesaat. Tangannya hendak menyentuh rambut coklatku tentu saja sebelum aku menepis tangannya kasar.

"Pergi!"

Ia menunduk dan tersenyum perih kearahku. Kini aku yang terhenyak sesaat.

Sungguh, walau aku benar benar membencinya, tetap saja hati nuraniku terus mengatakan dia itu tetap masih saudaraku.

"Pertimbangkanlah matang matang dulu, Fie..."

Ia kemudian menghilang begitu saja meninggalkanku sendirian yang kini terduduk bersimpuh di tanah.

Aku sungguh dilema.


To Be Continued?

APA APAAN INI?!
#bantinglaptop

Hikz. Saya tahu saya banyak kekurangan. Maka dari itu... maafkan saya yang dengan pedenya mem-publish cerita gaje ini... #nangisdarah

Typo bertebaran. Gak nge-feel sama sekali. Gajeness sekali. EYD salah semua pula. Hikzz...

Maklum ya, saya masih belia (#mual) dan saya juga masih amatir. Hehe.

05 Oktober 2016

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang