Chapter 21 : Him (Part III)

137 7 0
                                    

Author's note: 

As I've told you from the previous chapter, this chapter will be still about Alex and Mersie. Don't worry, Thomas will be in the next chapter. Makanya sebelum lanjut ke bab selanjutnya, baca dulu chapter yang satu ini ok.

Enjoy reading!

---------------------------------------------------------

Alexander's PoV:

Aku menggandeng tangan Mersie pergi setelah kami berpisah dari Grant, si Ketua OSIS yang terkenal, terkeren, dan terpintar juga di sekolah.

"Lu ngapain sih perlu menghilang segala?!" aku langsung protes kepadanya.

"Lah lu ngapain ketawa ngakak sendiri, udah gitu gak jelas pula?!" tak kusangka bahwa ia balas menyahutiku dengan jutek.

"Gue yakin lu udah pasti tahu yang mendasari gue ketawa ngakak," ujarku jujur.

"Gue tahu kok. Lu ketawa gara-gara tatapin terus hasil foto selfie kita berdua yang diam-diam lu ambil itu, ya kan? Tapi, kenapa masih dilanjutin juga ketawanya, huh? Bahkan, pas gue mulai pergi tinggalin lu, lu sendiri masih enggak nyadar sama sekali lho! Gue gak suka diabaikan begitu aja, Lex! Itulah makanya tadi lu tuh terasa sumpah super nyebelin banget!" ia melontarkan kekesalannya yang bertubi-tubi.

Aku menyentuh pundaknya dan berkata, "Calm down, Mers."

"Udahlah, lu gak usah sok-sok tenangin gue!" ia langsung menghindar karena tak mau disentuh olehku.

"Jangan ngambek gitu dong," aku mencoba mengambil hatinya perlahan dengan berbicara menggunakan nada lembut.

"Gue ngambek karena lu pertama-tama bikin ulah ke gue! Sekali lagi lu masih menyebalkan di mata gue, Lex!" ia memarahiku.

"Okei, gue ngaku salah ke lu, tapi yang di sini salah bukan hanya gue doang ya. Lu juga ada salah sama gue, yang mana gue punya hak buat sama-sama marah ke lu!"

"Lu masih berhak nyalahin gue aja?! Udah gue bilang kalau semuanya itu salah lu! Inget ya, Lex, gak akan bakal terjadi hal kayak gini kalau sebelumnya saat itu juga lu langsung berhenti memperolok-olokkan gue dan setidaknya kembali memberikan gue perhatian."

Aku mendengus kesal, tapi bagaimanapun juga, aku tahu bahwa akulah yang harus terlebih dahulu meminta maaf kepadanya. Bukan hanya karena semata-mata aku ini adalah seorang cowok, tapi karena aku benar-benar menyadari adanya kesalahan dalam diriku dan aku mau mengalah dari rasa egoku ini untuknya.

Aku pun mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dari sebelah dalam jaketku yang untung saja keadaan pelopaknya tetap utuh dan keseluruhan penampilannya masih cukup bagus dipandang. Buat apa? Teramat jelas sekali untuk Mersie. Kemudian, tanganku terulur menyerahkan bunga tersebut beserta dengan sekotak cokelat Belgia berukuran agak kecil. Ia tak menyangka atas adanya kejutan dariku yang sungguh spesial begini. Dalam keraguan dan sedikit pertimbangan, dirinya menggerakkan tangannya dalam menerima kedua pemberianku ini. Pada akhirnya, ia bersedia mengambil mawar merah dan sekotak cokelat dari tanganku.

"Gue harap emosi lu segera mereda. Mers, gue tahu bahwa ini bukan kali pertamanya kita berdua ribut akan satu sama lain. Dulu, kita malah hampir selalu ribut tiap hari, tapi yang anehnya, kita selalu cepat baikan lagi apapun masalah dan keadaannya. Ke sininya, gue makin menyadari untuk lebih enggak memperpanjang masalah sama lu. Jadi, lebih baik kita cukup marahan sampai di sini aja ya, oke, Mers? Tidak ada perdebatan yang akan terjadi lagi nanti setelah ini, karena gue lebih suka mengajak lu berbaikan," pintaku baik-baik. Hanya saja kali ini, pandanganku terpaku ke bawah tanah.

Sesaat, aku hanya mampu menundukkan kepala. Aku tidak bisa menatap langsung mata Mersie setelah semua ucapan yang kusampaikan tadi padanya.

"Lex, lho kenapa lu gak berani tatap gue? Lu takut gue gak mau baikan sama lu, ya?" ia terdengar sangat bertanya-tanya dari nada bicaranya.

Unknowingly Beloved Unbeloveds / UBU (TBS fanfic) [REWRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang