Tak Apa Jika Kau Bersedih

83 8 0
                                    

"Tak apa jika kau ingin menangis. Sedih itu hal yang wajar," kata ayahnya sepulang dari penguburan ibu. Umurnya 5 tahun. Ayahnya tertelungkup di meja, sesenggukan. Ia tak meneteskan airmata.

"Setiap manusia akan meninggal, itu yang disebut takdir," kata bu Dina, guru taman kanak-kanaknya.

***

"Jika kau bersedih, itu normal," ucap ayahnya di rumah sakit. Ia baru saja tamat SMA. Wanita yang baru saja meninggal adalah mama Dina, gurunya dulu yang dinikahi ayahnya setahun setelah kepergian ibu.

Mama Dina menyayanginya, mencintai ayahnya. Ayahnya meneteskan airmata. Dia tidak.

***

"Kami turut berdukacita atas kepergian beliau. Anda pasti sangat bersedih," tutur imam masjid yang memimpin shalat jenazah ayahnya. Ia mengangguk perlahan.

Setelah pemakaman, dia menuju stasiun kereta, menuju kota tempat kampusnya berada untuk mengikuti ujian skripsi keesokan harinya. Dia lulus dengan nilai cum laude.

***

"Mari kita ke bar untuk melupakan kesedihanmu," ajak teman-teman kantornya setelah mengetahui bahwa calon istrinya memutuskan untuk lari dengan pria lain yang telah menghamilinya, padahal tanggal pernikahan mereka telah ditetapkan bulan depan. Dia hanya mnggeleng sambil tersenyum.

Pulangnya, dia menemukan seekor anak kucing kudisan tergeletak di depan pintu rumah. Dia membawa anak kucing itu ke dalam rumah, memberi susu dan ikan, mengobati luka-lukanya. Keesokan harinya dia menelepon kantor untuk izin cuti sehari, dan membawa anak kucing dekil itu ke dokter hewan.

Anak kucing itu menjelma menjadi makhluk yang cantik dan lucu. Setiap pagi mengantarkannya ke pintu depan dan menyambutnya dengan gembira sepulangnya dari kantor. Dia memberinya nama Izzadina. Oh ya, nama almarhumah ibunya Izza.

***

"Tak apa jika kau ingin bersedih," kata dokter hewan yang telah berusaha menyelamatkan nyawa kucingnya namun sia-sia. Digendongnya tubuh mahkluk cantik nan lucu yang setiap pagi mengantarkannya ke pintu depan dan menyambutnya pulang dengan gembira setiap malam. Satu per satu butir air matanya jatuh ke pipi, semakin lama semakin deras.

Sebuah usapan lembut membelai lengannya. Tangan halus Alina, dokter hewan yang telah merawat kucingnya selama tiga tahun.

"Mari kita kuburkan Izzadina," bujuk Alina. Tangisnya membanjir.

"Setelah itu aku akan mentraktirmu secangkir kopi," kata Alina lagi.

Bandung, 16 Juni 2016

Pada Sebuah Bangku Taman (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang