Permata Dalam Diam

12 1 1
                                    

"Enak ya jadi Zahira, tak pernah patah hati," kata Tiara sembari duduk di sampingku.

"Mana mungkin patah hati? jangankan pacaran, jatuh cinta aja ngga pernah," lanjut Anisa.

Semua teman-teman pun tertawa. Namun, aku hanya tersenyum sambil berkata dalam hati, "Itu karena hanya Allah yang Maha Tahu isi hatiku."

Itulah anggapan mayoritas teman-temanku. Mereka menganggap aku wanita suci yang tak pernah patah hati, selalu berbakti pada orang tua, tak pernah marah, selalu cinta Allah dan Rasul-Nya, serta berhati bak bidadari. Hal ini karena mereka tidak tahu aku sebenarnya. Aku hanya gadis penuh noda bahkan mungkin aku lebih buruk dari mereka yang terang-terangan berbuat dosa. Bagaimana tidak, semua dosaku tersembunyi dalam diamku.

***

Kini senja pagi kembali menyapaku dengan mata yang letih, masih terasa butir-butir air mata ini telah mengalir tiada henti semalam. Kulihat sepucuk surat berhias warna pink, air mata ini kembali menetes setelah membaca ulang kalimat penuh asa di dalamnya.

Enam tahun berlalu, semua tiada mudah bagiku. Selama ini hatiku terpatri untuk selalu mengingat seseorang yang kucintai. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Sesaat hatiku terasa hidup dan aku merasakan ketenangan. Namun, semua itu tidaklah bertahan lama. Aku kembali teringat dengan cintaku yang berhasil membuatku menjadi muslimah rapuh.

Cinta yang berawal dari persahabatan dan dibumbuhi kebersamaan, ternyata dapat merajut benang-benang kasih dan sayang, hingga menyatu di relung hatiku. Saat diri ini jauh darinya, terasa ada yang hilang dalam diriku. Semua terasa tidak lengkap. Bayangnya selalu mengintaiku bersama iringan detik dalam waktu. Perhatian, gurauan, nasihat, dan sikap lincahnya membuat aku ingin selalu bersamanya. Karena bersamanya, menjadi alasan bagiku untuk selalu tersenyum.

Aku ini seorang muslimah yang masih miskin ilmu tentang kehidupan. Memang umurku sudah menginjak 23 tahun, namun jiwaku tak sedewasa itu. Kini aku sedang jatuh cinta kepada seorang muslim yang merupakan sahabat baikku, Kang Mirza. Aku memendam rasa selama 6 tahun. Selama ini aku tetap memilih diam. Karena aku belum mengetahui dia jodohku atau bukan. Aku berharap bahwa cinta ini hanya terungkapkan kepada shidqul mahabbah, imamku nanti. Seorang imam yang merupakan pacar pertamaku. Entah itu dia atau orang lain.

Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Sejak menghirup udara segar di negara asing untuk kuliah, sejak itu pula aku belum pernah melihatnya. Masih teringat jelas pertemuan terakhirku dengannya. Saat dia mengembalikan novel kesayanganku, mengucapkan kata terakhir penuh kesedihan.

"Zahira," menyerahkan novel ke tangaku.

"Iya, Kang?" memandang dengan penuh tanda tanya.

"Sepulang dari Mesir, apa kau akan lupa kalau kita sahabatan?"

"Hehe, ya ngga lah Kang!" kutersenyum meyakinkan.

"Baiklah kalau gitu. Hati-hati, Zah!" meninggalkanku sembari tersenyum hambar.

"Iya Kang, terima kasih" kubalas dengan senyuman.

"Mana mungkin aku lupa dengan seseorang yang selalu singgah di kalbu. Hatiku 'kan menantimu Kang Mirza," suara batinku melepas pandangan Kang Mirza yang telah berjalan menjauh.

***

Selama 2 tahun di negeri asing ini, terkadang aku merasa tak sanggup menahan gemuruh rindu yang mengobrak-abrik hatiku. Gelembung bayangnya selalu menari-nari di pikiranku. Tak jarang aku takut murka Allah menimpaku. Ya, karena aku sangat mencintainya. Seakan aku tidak akan bisa hidup tanpanya, Astaghfirullah. Namun, aku harus mewujudkan cita-cita yang telah lama terlukis di masa kecilku. Apalagi ini satu-satunya kesempatanku untuk melanjutkan kuliah S2 dengan beasiswa di negeri impian sejak dulu, Mesir. Itulah motivasi kuno yang selalu membuat aku bertahan selama ini. Hanya itu yang membuatku sedikit mampu meredakan guyuran rindu di hati.

Permata dalam DiamWhere stories live. Discover now