Ia adalah gadis yang merindukan dunia.
Pemuda berambut cokelat muda itu, Sei tidak pernah melihatnya. Namun ia juga belum pernah melihat gadis berambut hijau, gadis berambut platina, dan pemuda berambut hitam di dalam masa lalunya. Kendati mereka bertiga meneriakkan kata familiar yang sama.
Sei hanya mengenal Haijima Akatsuya dan Rei Khazura.
(Dan Hasegawa Aoi, dan Kuroki Nanami, dan Hisato Ryou, dan Miyamura Atsushi.)
Gadis itu tersadar betapa kecilnya dunia yang selama ini ia miliki dan tinggali. Ia tidak mengenal Lucille, tidak tahu siapa itu Hashiri, tidak familiar dengan Minami, atau bahkan Nymph sendiri. Ia hanyalah sesosok remaja yang memorinya diambil paksa, dilempar ke dalam Wonderland untuk dibunuh dan disiapkan untuk mati.
"Minggir, Lucille," suara Aoi terdengar dingin. Jauh lebih dingin dari kabut setinggi mata kaki, jauh lebih solid daripada angin yang membekukan tulang dan memainkan dedaunan.
Meneriakkan ancaman dan bahaya yang pasti.
"Kau yang minggir, Hasegawa. Kau hanyalah asisten, bukan pemilik Alice," suara Lucille tenang dan dalam, membuat Sei lantas bertanya-tanya apakah pada dasarnya sosok Dormouse memang seperti ini? Sei hanya sanggup mengingat rambut cokelat muda dan iris membara.
"Sayangnya karena atasanku sedang menjalani hukuman. Jadi semua tanggung jawab jatuh kepadaku," senyum Aoi miring, menciptakan sebuah ekspresi yang membuat rasa merinding jatuh menuruni punggung Sei. Bayangan membuat mata kelabu itu terlihat semakin gelap.
Sei hampir dapat menyentuh secuil kewarasan Aoi yang tersisa.
Lucille mendecih, ia memainkan salah satu kuncir duanya dengan jemari seolah tengah berpikir, gadis itu kemudian menggesturkan salah satu tangannya ke arah pemuda di sisinya.
Satu degup jantung.
Adalah apa yang pemuda itu butuhkan sebelum ia berada tepat di hadapan Sei. Wajah mereka hanya tinggal satu napas dari ciuman, sepasang iris sewarna platina berkilat, sewarna bilah belati yang ia genggam di tangannya. Tangan itu dengan cepat bergerak, Sei hampir kehilangan keseimbangan ketika ia menunduk dan melompat mundur.
Suara tembakan yang sangat keras hampir menarik perhatiannya.
Hampir.
Bila saja Alice berambut cokelat muda itu tidak membutuhkan satu degup jantung lagi untuk merangsek maju. Kecepatannya yang luar biasa membuat Akatsuya terlihat seperti balita yang baru belajar berjalan, suara gemerincing rantai membuat Sei sadar bahwa senjata yang diggenggam pemuda itu bukanlah belati biasa; dan itu berarti mampus bagi dirinya.
Sei menarik keluar Pedang Vorpal dengan paksa, tanpa sengaja membenturkan kepalanya sendiri ke tengah gagang pedangnya. Benda itu jauh lebih berat dari yang ia ingat, atau mungkin saja karena pedang yang sebelumnya terbuat dari memori, bukan benda asli.
Suara tembakan lagi-lagi terdengar, tetapi Sei tidak tahu siapa yang menembak.
Sosok Lucille tidak terlihat dari sudut matanya, tetapi Sei melihat kilasan warna kuning bergulat dengan bayang cokelat, suara besi bertemu dengan batu kurang-lebih memberitahu Sei bahwa ada pistol yang jatuh ke tanah, entah milik siapa.
Pemuda di hadapannya menarik napas sebelum mengeluarkan kedua tangannya, masing-masing dari telapak tangannya dihiasi dengan dua buah belati dengan rantai tipis di bagian tengah. Sei tidak tahu dan tidak mengerti apa faedah rantai tersebut, tetapi ia sadar senjata itu berarti masalah baginya.
Senjata gadis beriris peridot di dalam Wonderland hanyalah belati. Senjata Akatsuya jauh lebih solid, dan Sei mengerti cara kerjanya. Senjata gadis berambut platina di istana White Queen hanyalah sekumpulan anak panah dan busurnya. Tetapi pemuda ini?
Rantai itu bisa melakukan apapun, dan Sei sadar ia tak tahu apa yang dapat dilakukannya.
Alice kembali melangkah maju, suara gemerincing rantainya semakin kentara, seolah menggantikan kedua kakinya yang sama sekali tidak bersuara. Sei memposisikan pedangnya di depan dada, siap menerima serangan dan mempertahankan nyawa.
Suara denting platina, dan Sei kira itu belati sang pemuda.
Sebuah tarikan yang luar biasa mendadak membuat gadis itu reflek melangkah maju dengan pemaksaan, setengah membungkuk ke tanah. Matanya kemudian menangkap rantai yang melilit bilah Pedang Vorpal, pada ujungnya, sebuah belati menggantung.
Matanya membesar, dan gadis itu melempar Vorpalnya, seketika pada tempatnya berdiri sebelumnya, pemuda itu menghujamkan belatinya yang lain ke tanah. Mendecih ketika sadar tubuh Sei tidak lagi di sana, matanya berkilat-kilat seperti seekor pemangsa.
Kini Sei mengerti cara kerja rantainya.
Satu tarikan napas, dan pemuda itu bergerak lagi.
Langkahnya sama sekali tidak mengeluarkan suara, mengingatkan Sei kepada Atsushi dan sepatunya. Suara gemerincing rantai membuat Sei menyentak tubuhnya ke samping dengan paksa, bilah belati menggores lehernya, memotong sejumput besar rambut cokelat tua.
Alice menyerang tanpa ampun, dan Jabberwocky bukan ancaman tanpa Pedang Vorpal.
Satu tebasan di pinggang, tusukan di bahu, goresan di lengan yang lain. Sei hanya sanggup menghindar dan berusaha melayangkan serangan fisik ke lawannya, tetapi pemuda itu terlalu cepat, hingga Sei bersumpah ia mengendarai angin, bukan lagi menjejak bumi.
Tetapi apapun yang terjadi, Sei harus cepat meraih pedangnya. Itu bila ia tidak ingin mati.
Sebuah suara tembakan lagi-lagi memecah malam.
Dan Sei memanfaatkan hal itu untuk menyentak kakinya dan menendang dada sang pemuda, berlari ke arah pedangnya yang tergeletak di tengah bayang-bayang yang tertawa menghina.
Sei berbalik dan dengan reflek menahan belati yang berusaha menebas punggungnya.
Kilatan iris platina dan determinasi yang amat sangat membuat Sei tertegun.
"Kenapa kau melakukan ini?"
Pemuda itu berkedip, seolah ia baru tersadar dari lamunan tanpa akhirnya ketika Sei berbicara kepadanya. Sejenak, tekanan pada belatinya melemah, dan Sei memanfaatkan sepersekian detik yang tersisa untuk menarik rantai di antara kaki mereka dan berlari ke arah yang berlawanan sebelum pemuda itu sempat meraih rantai yang tergenggam di tangannya.
Alice mengumpat ketika Jabberwocky mendapatkan Pedang Vorpal dan senjatanya.
Satu degup jantung, dan pemuda itu bersiap untuk merebut senjatanya.
Tetapi kemudian ia berhenti.
Sei juga berhenti.
Suara langkah kaki dari banyak orang membuat darah Sei mendingin.
Kalimat Aoi berputar di kepalanya, tentang bahwa semua penduduk Wonderland akan segera mengejarnya. Tetapi ia sudah terlalu dekat dengan kebebasan—sesenang inikah realita mempermainkannya? Hanya tinggal satu saja. Satu pertarungan saja dan ia dapat keluar.
Pemuda berambut cokelat muda itu menoleh ke arah jalan setapak gelap di belakangnya.
Suara denting memecah keheningan kala Sei hampir terlambat mengangkat pedangnya.
Tiga belati dan satu pedang hampir terlalu dekat dengan lehernya, hampir terlalu dekat dengan jiwanya. Samar-samar, gadis itu dapat melihat kilatan anak panah di dalam kegelapan. Dan ia harus memaksa empat sosok di hadapannya untuk mundur dengan sekuat tenaga sebelum menunduk dan menempelkan punggungnya ke dinding labirin, terengah.
Ia adalah Jabberwocky.
Dan kini ia menghadapi enam Alice.
.
.
Chapter Thirty-four End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?