Again!

2K 108 6
                                    

“V-Venice?!” aku sedikit terbata saat menyebut nama itu. Tetapi wajah di hadapanku justru mengerutkan kening, kemudian mengulurkan tangannya padaku.

“Janice. Namaku Janice.”

Perlahan wajah Janice tampak kabur, tetapi kemudian aku mulai bisa menyesuaikan perasaan dan pikiranku lagi. Rambutnya yang tadi agak sedikit ada cat merah, kini berubah sepenuhnya hitam. Rupanya warna kemerahan tadi hanya karena sorotan lampu berwarna keemasan.

Ah, aku terlalu sibuk memikirkan Venice. Ini tidak boleh!

“Ich komme aus Deutschland.” Lanjutnya. Sepertinya itu bahasa Jerman. Ah, aku tidak begitu paham.

“Masuklah.” Ajakku pada Janice dan Natsuke. Mereka pasangan baru yang sepertinya sangat bahagia. Gadis itu tak pernah melepaskan pegangan tangannya dari lengan Natsuke. Bagaimana mungkin Natsuke bisa begitu mudahnya melupakan Vara yang baru saja meninggal? Kejam sekali.

Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Natsuke. Dia memiliki hak untuk mencintai siapa saja. Lagipula tidak mungkin dia bisa bersama Vara lagi.

“Tidak usah, Hava. Aku kemari hanya ingin mengembalikan uangmu yang kupinjam waktu itu. Ini.”

Natsuke menyerahkan sebuah amplop padaku.

“Kalau kau masih membutuhkannya, lebih baik…”

“Oh, tidak, Hava. Orangtuaku sudah mengirim uang padaku tadi pagi. Kau tak perlu mengkhawatirkanku.”

“Baiklah.”

“Hava, bulan depan kami akan pergi ke Jerman untuk berlibur. Kau mau ikut?”

“Maaf, Natsuke. Aku sedang banyak urusan di sini… Lagipula…”

“Lagipula apa?”

“Lagipula…”

“Lagipula apa, Hava?”

“Lagipula… Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jerman.” Aku agak memelankan suaraku. Natsuke tertawa.

“Tidak jadi masalah, Hava! Janice adalah penerjemah yang baik.”

***

Penerbangan dari Rotterdam menuju Jerman bisa dibilang cukup lancar. Pesawat Lufthansa dengan nomor penerbangan 224 akhirnya mendarat juga dengan mulus di Munich International Airport. Saat kami turun dari pesawat, salju-salju langsung berjatuhan dan udara dingin seketika serasa menancap sampai ke tulang. Aku merapatkan mantel musim dinginku dan mulai memakai tudung kepalaku.

Samar-samar dibawah salju yang turun lebat, kulihat sekelebat bayangan yang tadi – sepertinya – mengawasiku, menghilang di balik pesawat lain di ujung sana.

“Hava, ayo cepat! Salju semakin gila saja.” Natsuke menarik tanganku. Saat itu kulihat sorot aneh dari mata Venice. Maaf, maksudku Janice. Tak ada Venice di sini.

Kami segera naik taksi menuju kota Aschaffenburg di Bayern. Es yang licin membuat mobil yang kami tumpangi beberapa kali terpeleset. Sepanjang perjalanan aku hanya diam sambil sesekali membaca novel yang kubawa dari apartemen.

“Scheisse!”

Sopir taksi mengumpat dan seketika menghentikan laju mobilnya. Janice dan Natsuke segera turun untuk memeriksa apa yang terjadi, sementara aku tetap berada di dalam mobil sambil waspada.

“Haahhh???!!” Kulihat Janice menutup mulutnya dan spontan berjalan mundur, hingga pinggangnya menabrak badan mobil. Natsuke melakukan hal yang sama, meski dia tidak menutup mulutnya. Tetapi kulihat dia sempat meneteskan air liur tetapi buru-buru mengusapnya dengan lengan bajunya. Wajah mereka pucat. Mereka berpandangan dengan sopir taksi yang beberapa saat kemudian kabur.

Aku turun untuk melihat apa yang terjadi.

Oh my God.

to be continued...

Under the Moon (Devil 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang