15. Yang Lebih Empedu

23.9K 2.7K 321
                                    

Matahari baru saja tergelincir ke arah barat. Membuat bayangan lebih tinggi dari bendanya. Beberapa daun jambu Jamaika jatuh di atas paving block, tepat di sebelah kiri tubuh Kejora yang duduk memeluk lutut di sebuah bangku taman yang diletakkan tepat di bawah pohon itu. Beberapa angin menyeret dedaunan kering menjauh ketika Jao memutuskan untuk menghampiri istrinya. Tanpa suara, pria itu mengambil posisi duduk, berjarak beberapa senti dari Kejora. Dalam hening, Jao mengamati wajah Kejora. Mata yang biasanya berseri-seri itu meredup. Kesedihan begitu lekat di sana. Tangan Jao terangkat, mengelus pipi Kejora.

"Kurasa sudah cukup sendirimu, Jora. Kamu harus membaginya denganku," ujar Jao penuh simpati.

Kejora menurunkan kaki, mengedip sekali lalu menangkupkan tangan kanannya di atas tangan Jao yang masih menyentuh pipinya. "Apa yang bisa kubagi denganmu?"

"Semuanya. Tanpa ada yang perlu disembunyikan." Jao menghela napas. Tangan mereka yang bertaut itu diturunkan.

Kejora menarik diri, bergeser menjauh beberapa inchi.

"Jangan menghindariku," Jao memperingatkan dengan nada memelas. Kejora merasa tidak diancam, justru kasihan karena sudah membuat sekat antara dirinya dan Jao. Padahal pria itu sudah berusaha lebih dekat dan memahaminya.

"Boleh aku bertanya tentang kamu, Jao?" Kejora berusaha mati-matian mengusir mata sendunya. Setiap kali matanya mengerjap, kesedihan kembali bersemayam di sana. Jao bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu kesusahan melepaskan bebannya. Benar-benar aneh. Tiba-tiba, Jao merasa muak pada diri sendiri karena tidak mampu meringankan masalah Kejora. Jarak mereka sangat dekat. Dalam satu gerakan, Jao bisa mendekapnya. Namun, sekali lagi, jarak bukanlah sesuatu yang bisa membuat seseorang menjadi lebih dekat.

Kemana saja kamu selama ini, Jao? Jao memejamkan mata. Keberadaannya terasa sia-sia. Dia tidak punya arti apa-apa, sekadar menciptakan sebuah senyuman di bibir Kejora yang singkat saja tidak bisa.

"Aku janji tidak akan memaksamu jika pertanyaanku melanggar privasimu, Jao," tegas Kejora.

"Kamu bebas bertanya. Apa saja. Tanyakan padaku apa yang ingin kamu ketahui," ia menunduk, melihat jemari Kejora meremas-remas tepian jilbab. Jao mendongak lagi, kali ini kegelisahan dan rasa ingin tahu yang dipantulkan mata itu.

"Kita sering berdebat mengenai keberadaan Tuhan. Setiap alasan yang kukatakan selalu berhasil kamu tampik. Maksudku, begini, Jao..., apa yang membuatmu berani mengucapkan syahadat? Atas semua hal yang sudah kamu lewati, kamu rasakan dan kamu ketahui, syahadat bukan hanya omong kosong yang diucapkan anak kecil tanpa melekatkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari." Kejora mengusap punggung tangan kirinya, kemudian menatap Jao yang membeku dalam diamnya. "Jao, boleh aku tahu?"

Beberapa awan berarak dari arah utara. Warnanya putih bergumpal-gumpal tertendang angin. Jao mengambil jemari Kejora lagi, meremasnya.

"Sejak Berlian kesurupan, keyakinanku untuk tidak mempercayaiNya goyah. Aku pikir, kesurupan yang menimpa Berlian layaknya penyakit DTD pada buku-buku psikologi. Tapi, logikaku mengatakan bukan. Tidak ada satu penyakit yang bisa menyulap penderita menjadi rajin ibadah dan jago tilawah Al-Qur'an dengan banyak nada tausih. Kalau kamu tidak percaya, suruh saja dia baca Al Qur'an dengan tartil sekarang, aku sangat yakin dia akan membaca dengan terbata-bata. Kedua, aku bertemu seseorang yang dulu menyelamatkanku dari interogasi polisi. Dulu dia memakai jubah dan memelihara jenggot. Awalnya, kupikir, dia adalah teman almarhum ayahku. Ternyata, pertanyaan itu terjawab dua hari lalu. Dia sama sekali tidak mengenal ayahku. Tapi, dia memahami doa-doaku. Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa mendengarku berdoa. Sejak diinterogasi polisi, aku ditempatkan di dalam ruang isolasi." Jao merogoh kantong celana, menyerahkan selembar kertas yang usang.

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang