"Jadi... kapan lo mau ajarin gue main gitar?"
Sean mendengus kesal karena terus mendengar pertanyaan Ruby yang satu itu secara berulang-ulang. Mungkin jika bisa dihitung, Ruby menanyakannya lebih dari sepuluh kali dalam jangka waktu satu menit. Terlebih pertanyaan itu lebih kepada arah mendesak atau memaksa. Dan Sean dapat menebak, jika Ruby pasti akan terus mendesaknya untuk menjawab. Meski ia menolak dan akhirnya memaksanya untuk berkata 'YA'.
Sebenarnya Sean agak menyesal karena harus bermain gitar di dalam rumahnya sendiri, sekalipun itu ada di dalam kamarnya. Yang ia tak habis pikir, entah apa yang membuat Ruby tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya tanpa harus mengetuk pintu dengan alasan yang konyol. Ia masih mengingat ekspresi wajah tak berdosa dari Ruby saat memasuki kamarnya dan kalimat yang diucapkannya beberapa menit lalu...
"Gue pinjem charger lo ya yan. Soalnya charger gue ru- SUBHANALLAH! TERNYATA LO BISA MAIN GITAR 'KAN?! APA GUE BILANG!"
Dan suara melengkingnya yang memekikkan telinga ketika ia berteriak heboh. Yang ajaibnya, detik itu juga Sean hampir saja terjengkang ke belakang kursi yang di dudukinya.
Nggak elit banget!
Well, begini akhirnya. Ia harus pasrah mendengar celotehan Ruby--lebih tepatnya merengek kepadanya minta diajarkan bermain gitar. Dalam kasus ini pula ia merasa de javu.
Sean menutup telinganya rapat-rapat dan beranjak berdiri dari kursinya, meninggalkan Ruby yang masih merengek di tempatnya. Langkah Sean terhenti di ambang pintu begitu ia merasakan ujung kaosnya di tarik seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ruby.
Sean berusaha mengontrol emosinya lalu berbalik menatap Ruby datar. Sialnya, wajahnya mendadak merona saat Ruby menatapnya dengan jurus puppy eyes andalannya. Membuat gadis itu semakin manis dan menggemaskan. Rasanya tidak mungkin ia berlaku kasar pada gadis semanis Ruby.
Eh? Manis?
Tapi bukan Sean namanya jika tidak pandai mengatur raut wajahnya menjadi mode poker face. Ia memulai dramanya dengan memasang wajah galaknya.
"Apa?"
Ruby mengerjapkan matanya centil, menarik-narik ujung kaos Sean manja. "Ajarin gue. Ya, ya, ya?" pintanya penuh harap.
Sean menghela nafasnya jengah. "Enggak!"
"Kali ini aja. Please,"
"Gue bilang enggak, ya enggak!"
"Ih Sean baik deh. Ganteng pula."
"Emang."
"Oh gosh!" Ruby memutar bola matanya malas. Rasanya ia ingin meraup seluruh wajah Sean yang tampan itu dengan telapak tangannya.
Ruby menggeleng-gelengkan kepalanya membuat Sean menaikkan sebelah alisnya. Menatap Ruby aneh.
"Kesurupan lo?"
Dan detik itu pula, Ruby menghentikan gerakan kepalanya dan melirik Sean tajam."Ish mulut lo!" sungutnya mengerucutkan bibir.
"Ajarin gue ya, Yan?" Ruby merengek lagi. Kali ini ia menggoyang-goyangkan lengan Sean seperti anak kecil yang meminta permen dari ibunya.
"Eng--"
"Gue akan turutin semuaaaa permintaan lo. Janji!"
"-- Oke!"
Mata Ruby berbinar mendengarnya. "Aye aye!" Tanpa melepaskan rangkulan tangannya di lengan Sean, ia berjingkrak heboh sambil berteriak menyerukan kemenangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JET BLACK HEART
Teen Fiction[Sequel dari cerita "30 DAYS FOR LOVE"] Seumur hidupnya, Ruby tidak pernah membayangkan akan tinggal di satu atap bersama dengan Sean, si lelaki dingin dan angkuh yang sangat asing baginya. Namun di sisi lain, Ruby merasa aneh dengan perasaannya yan...