D.I.D

14.8K 1.1K 66
                                    

"Thorn," suara Bella memecah segalanya.

Thorn dengan sigap melepaskan pelukanku dan menatapnya seakan aku tak ada.

Bella menyipitkan kedua matanya. "Bukankah wanita itu-"

"Ya," potong Thorn. Pandangannya kembali padaku. Namun... ia tidak marah kali ini.

Tidak seperti saat itu.

"Apa yang terjadi Layla?" Tanyanya.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Tertunduk menatap ujung sepatu Thorn yang selalu terlihat licin.

"Tidak," gumamku. Kemudian, dengan susah payah kembali menatapnya. "Kalian- pergilah... maaf karena sudah mengganggu perjalanannya." Ucapku pada akhirnya.

Bella menghampiriku. Tidak, mungkin Thorn dan bukan aku.

"Kita bisa bicarakan masalah ini nanti, kurasa isterimu saat ini membutuhkanmu." Ujar wanita itu.

Thorn menyentuh lengan Bella. Lagi-lagi dengan teramat lembut. "Aku akan menghubungimu."

Ingin rasanya aku berteriak pada Thorn agar jangan pernah menghubungi wanita itu lagi.

Tapi.... apa dayaku. Siapa aku selain seorang budak yang sudah ditebusnya dengan nominal tak terhingga.

"Sebaiknya kita pulang, kau sepertinya kurang sehat Layla." Ujar Thorn.

Aku menjawabnya dengan senyuman.

Pedih.

***

Mata Bella rupanya cukup jeli. Wanita itu dengan jelas menebak kondisiku.

Yah, mungkin karena ini pula mengapa sikapku menjadi cukup aneh belakangan.

"Tiga puluh delapan derajat," Thorn menatap termometer dan diriku secara bergantian. "Mengapa kau tidak bilang kalau kau sedang sakit?"

Tidak mungkin aku bisa terpikir tentang hal itu di saat seperti ini bukan. "Aku bahkan tidak tahu kalau aku sakit Thorn."

Thorn membuang termometer itu ke dalam tempat sampah. "Mengapa kau ada di sana? Bukankah kau bilang padaku akan pergi belanja dengan Arnera."

Aku menelan ludah dengan susah payah. "A, yah- tadi aku tanpa sengaja bertemu dengan...."

"Siapa?" Thorn menatapku.

Aku mengalihkan pandangan dan menatap tepi jalan.

"Mantan suamimu?"

Ucapan Thorn membuatku terbelalak. Bagaimana mungkin ia kembali mengungkit si tua bangka itu?!

"Dia bukan suamiku!" Tegasku.

Ingatkah kalian dengan si tua tambun yang dulu pernah membeliku?

Ya, Thorn telah mengetahuinya. Entah darimana. Mungkin dia menyelidiku diam-diam. Ataukah... "Kumohon jangan pernah membahasnya lagi. Kau tahu dengan jelas kalau aku bersama si tua bangka itu karena dipaksa oleh paman dan bibiku!"

Thorn menatapku dalam diam. Kemudian helaan napas terdengar dengan jelas ditelingaku. "Bagaimana mungkin mereka begitu tega?"

Amarah yang berkecamuk seakan membakar dadaku. "Bukankah kau sudah mengetahui asal-usulku. Jadi mengapa kau kini bertanya lagi padaku?"

"Aku tidak tahu banyak." Gumam Thorn. Jemarinya mengusap lembut wajahku. "Tapi-" ucapan Thorn terhenti. Kedua matanya terbelalak tepat saat suara bising itu terdengar.

Dan kejadian itu terulang lagi.

Thorn seketika membeku. Ketika suara kereta yang melaju seakan mengiringi laju kendaraan kami.

Thorn Mc AdamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang