Pisau Keempat

1.5K 26 0
                                    

Sang adik tetap tidur pulas, sang taci sedang mendengus napas sambil di tahan-tahan kelopak matanya, akhirnya terpejam. 

Air mukanya menampilkan kelelahan dan senyum manis puas. Ganti berganti Sebun Cap-sha mengawasi kedua kakak beradik kembar ini, tiba-tiba hatinya dirangsang rasa riang dan puas serta bangga, seolah-olah dia berhasil mengalahkan Ting Ling.

"Belum tentu setiap orang selalu menang di bidang tertentu, ternyata aku punya kekuatan yang melebihi keampuhannya." demikian dengan tersenyum dia angkat cangkir arak. Baru saja dia hendak minum, tiba-tiba didengarnya suara ketukan pintu dari luar.

Apakah Ting Ling sudah kembali? Kerai jendela sudah tersingkap, namun matanya tidak melihat jelas siapa yang berada di luar.

"Siapa?" tanyanya tanpa mendapat jawaban.

Sejenak Sebun Cap-sha ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri membuka pintu. Tiada seorangpun di luar. Tabir malam menelan segala makhluk di atas bumi ini.

"Barusan siapa mengetuk pintu?" tanyanya sembari mengencangkan pakaiannya. Tetap tidak mendapat jawaban. Kemanakah kusir kereta yang berjaga di luar? Hawa malam ini sungguh terlalu dingin. Sebetulnya dia tidak ingin meninggalkan bilik kereta yang hangat dan nikmat itu, tapi seseorang setelah melakukan sesuatu yang tidak berkenan dalam sanubarinya selalu merasa kurang tentram hatinya. Akhirnya dia kenakan sepatu tinggi, melompat turun ke tanah. Kabut tebal nan gelap pekat, dingin dan sunyi senyap.

Kusir kereta mengenakan pakaian tebal berkulit kapok sedang jongkok di tumpukan jerami di luar gubuk sana, dengan dengkul sebagai bantal, tangan memeluk kaki, agaknya sudah lelap dalam tidurnya.

Lalu siapa yang barusan mengetuk pintu? Apakah dia salah dengar? Jelas tidak. Usianya masih muda, kuping dan matanya masih tajam. Entah darimana Ting Ling mengundang kusir kereta ini, kalau barusan ada orang kemari, tentu dia tahu atau mendengar suara.

Sebun Cap-sha segera menghampiri, baru saja dia hendak dorong dan membangunkan orang, sekonyong-konyong kusir kereta yang jongkok memeluk kaki itu melejit ke atas tumpukan jerami, di tengah udara jumpalitan terus melesat keluar laksana anak panah. Kecepatan gerak badannya memang tidak selincah dan segesit Ting Ling, namun jelas tidak lebih asor dari Sebun Cap-sha sendiri.

Sebun Cap-sha tidak sempat melihat muka orang. Ingin dia mengejar, namun sekilas dia ragu-ragu, bayangan kusir itu sudah menghilang di tempat gelap. Kabut tebal pasti bisa menyesatkan arah, hawa begini dingin setajam golok mengiris kulit. Tiba-tiba dia bergidik kedinginan, akhirnya dia berkeputusan untuk kembali ke bilik kereta sambil menunggu kedatangan Ting Ling saja.

Ternyata pintu kereta sudah tertutup pula. Sebun Cap-sha tidak ingat, dirinyakah yang menutup atau tertutup sendiri ditiup angin lalu. Lentera yang terbuat dari tembaga itu masih menyala, cahaya lentera yang redup menembus jendela menyorot keluar.

Sebun Cap-sha menjadi gegetun dan menyesal, kenapa dia keluar meninggalkan bilik kereta yang hangat itu, maka bergegas dia melangkah balik terus menarik daun pintu. Tapi hatinya yang hangat menyala seketika mendelu dingin seperti batu yang tenggelam ke dasar air. Badannya tegak gemetar di luar kereta, bergerakpun tidak berani.

Ternyata di bilik kereta sudah ketambahan satu orang. Seorang berkepala gundul berhidung elang, laki-laki tua yang berwajah merah segar, bertengger di mana tadi dia duduk. Dia bukan lain adalah Wi-pat-ya.

Kedua kakak beradik kembar itu masih meringkuk di pojok, tidurnya nyenyak sekali.

Bagai tajam golok, sorot mata Wi-pat-ya yang berwibawa menatap muka Sebun Cap-sha, katanya dingin: "Masuklah!"

Dengan tunduk kepala Sebun Cap-sha masuk ke dalam kereta, sekilas ujung matanya sempat melirik ke sana, dilihatnya kusir kereta tadi sudah jongkok kembali di tempatnya semula memeluk kedua kaki berjongkok seperti tertidur, seolah-olah dia tidak pernah bergerak dari tempatnya.

Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang