Pisau Keenam

1.2K 24 0
                                    

"Lalu dari mana Hujin tahu bahwa paras Ting Ling mirip Ting Hun-pin?"

"Khabarnya mereka adalah saudara kembar."

"O, kembar dampit."

"Menurut adat istiadat keluarga mereka, jikalau yang dilahirkan adalah kembar dampit (laki-laki dan perempuan), maka satu diantaranya harus diberikan kepada orang lain."

"Menurut adat kebiasaan suku bangsakupun demikian."

"Oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw tak tahu bahwa Ting Ling sebenarnya adalah keturunan keluarga Ting pula."

"Lalu dari mana Hujin tahu?"

"Seseorang teman memberitahu kepadaku."

"Teman yang tadi kau maksudkan itu?"

"Benar!"

Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Bahwa dia adalah teman Ting Ling, sudah tentu dia jauh lebih tahu mengenai seluk beluk Ting Ling yang tidak diketahui orang lain?"

"Apakah kau ingin tahu siapakah dia itu?"

"Ya, aku ingin tahu kalau boleh."

"Kenapa?"

Han Tin tertawa tawar, katanya "Karena aku tidak ingin bersahabat dengannya."

"Agaknya kau memang seorang cerdik dan teliti."

"Malah aku ini adalah sebuah gurdi."

"Benar, malah gurdi yang punya mata."

"Walau hidungku sudah dipukul ringsek, untung masih tajam untuk mengendus sesuatu."

"Oleh karena itu jikalau kau mau pergi ke suatu tempat dan melihat sesuatu, maka kau akan banyak memberi bantuan kepadaku."

"Silahkan kau katakan."

"Kau mau pergi?"

"Umpama Hujin suruh aku menempuh gunung berapi, aku tetap akan melaksanakannya."

Thi Koh menghela napas, katanya: "Tak heran Wi-pat-ya amat percaya kepadamu, agaknya kau memang laki-laki yang setia dan dapat dipercaya."

"Bisa mendapat pujian Hujin, badan Han Tin hancur leburpun takkan menyesal."

Thi Koh tertawa berseri, katanya: "Bukan aku ingin kau pergi mengantar jiwa, aku hanya ingin kau pergi ke Biau-hiang-wan."

"Melihat keadaan Yap Kay?"

"Sekaligus boleh kau tengok keadaan gadis gede berjiwa anak-anak itu."

****

Sesuai dengan namanya, Biau-hiang-wan diliputi harumnya kembang yang semerbak, sinar api masih menyala dan menyorot keluar dari jendela, pada kertas jendela tampak dua bayangan orang, seorang lelaki dan seorang perempuan.

Bayangan Tin-cu-heng-te (saudara kembar mutiara) tidak kelihatan, tapi di atas tanah tampak menggeletak sepasang pedang yang kutung, mutiara yang menghias di gagang pedang tampak kemilau di tingkah sinar api yang menyorot dari jendela. Agaknya nasib bersaudara kembar dari kota mutiara teramat jelek.

Sekonyong-konyong daun jendela terbuka. Seorang gadis jelita dengan menggendong boneka kecil terbuat dari tanah liat berdiri di ambang jendela. Kulit mukanya nan halus putih bersemu merah, matanya bundar besar bersinar bening, bibirnya kecil merah seperti delima merekah, kelihatannya begitu lincah dan aleman. Gadis sebesar ini tapi sikap dan tindak-tanduknya tak ubahnya seperti boneka tanah liat yang digendong dalam pelukannya.

Cuma perawakan dan potongan badannya saja yang tidak mirip boneka, setiap jengkal kulit dagingnya seolah-olah memancarkan daya tarik yang hangat dan menggiurkan. Muka kanak-kanak dengan potongan gadis montok dan mempesona, walaupun satu sama lain tidak seimbang, namun secara wajar menjadikan suatu daya tarik yang luar biasa merangsang, daya tarik yang selalu menimbulkan gairah daya kelakian siapa saja yang melihatnya. Memang bukan suatu tugas gampang untuk melindungi perempuan seperti ini.

Rahasia Mo-Kau Kaucu (The Flying Eagle in the Ninth Month) - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang