Aku menghembuskan nafas panjang untuk kesekian kalinya. Sesekali melirik jam tangan berwarna merah yang ada di pergelangan tangan kiriku. Punggungku bersandar pada tiang yang ada di halte bis, dengan kaki yang menopang seluruh berat badanku. Sudah hampir satu jam aku berdiri disini. Menunggu sesuatu yang tak pasti.
5:53 P.M.
Aku berdecak saat jam digital ku menunjukkan waktu yang menandakan hari semakin gelap. Kenapa mobil tante Arimbi masih tidak menunjukkan keberadaannya? Apakah tante Arimbi lupa untuk menjemputku?
Aku menegakkan tubuhku. Berjalan sedikit untuk berpindah posisi. Duduk di bangku yang tersedia di halte bis itu. Aku lelah, sungguh lelah. Tubuhku juga sudah terasa lengket karena keringat. Semoga saja keringatku tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap, aku masih belum mandi. Sedangkan halte ini juga cukup ramai.
Perutku juga sudah mulai bersuara, cacing-cacing di perutku semakin berontak saat aku mencium bau sedap makanan, bau nasi goreng. Aku sudah berniat untuk masuk ke warung makan yang tak jauh dari halte ini, tapi suara klakson mobil menghentikan langkahku.
"Aduh sayang, maafin tante ya. Tadi masih ada urusan sama nasabah." Ucap tante Arimbi saat berada di depanku.
Aku hanya tersenyum dan memaklumi. Kemudian tante Arimbi mengajakku ke mobil. Aku duduk di sebelah kirinya. Sedangkan tante Arimbi sudah mulai menyalakan mesin mobilnya dan mulai meninggalkan area halte.
Aku bersandar dengan mata terpejam. Tante Arimbi juga tidak berniat untuk mengobrol denganku sepertinya. Mungkin tante tahu jika aku lelah. Kita sama-sama lelah lebih tepatnya. Aku masih memakai seragam sekolahku, sedangkan tante Arimbi masih memakai baju kerjanya.
"Ta, kita beli burger dulu ya."
Aku membuka mata dan menoleh ke arahnya. Aku mengangguk yang dibalas senyum hangatnya. Tante Arimbi sudah ku anggap seperti ibuku sendiri. Aku sangat beruntung masih ada tante Arimbi yang mau merawatku.
Tante mengajakku ke restoran cepat saji. Memasuki restoran dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku duduk di meja makan sedangkan tante yang memesan. Sebenarnya aku ingin segera pulang, tapi tante ingin sekali makan di luar. Ya, meskipun hanya makanan yang kurang sehat seperti ini.
Aku memalingkan wajah ke arah tante yang masih mengantri. Dia tersenyum sambil berkata sabar tanpa suara padaku. Aku mengangguk. Kasihan tante Arimbi harus mengantri dalam deretan yang lumayan panjang.
Aku bangkit berdiri berniat ke toilet. Mungkin hari ini adalah hari sialku. Saat aku berbalik arah, minuman bersoda berwarna merah sudah menghiasi bagian depan kemeja putihku. Aku menggeram dalam hati. Tubuhku yang lengket terasa semakin lengket. Mengusap kemeja putihku yang basah, lalu mendongakkan kepala.
Senyum miring yang menghiasi wajah orang yang sudah menumpahkan minumannya itu menyapaku. Aku merubah ekspresiku menjadi datar. Kenapa harus cowok ini? Ingin sekali aku meneriakinya. Tapi semua ocehan yang ada di otakku hanya bisa ku telan kembali.
"Oh hai, Nerd." Ucapnya lalu meninggalkanku. Senyum menyebalkannya itu masih menghiasi wajahnya.
Aku menghela nafas. Meredam amarah, sabar. Dasar cowok tidak tahu sopan santun. Setidaknya meminta maaf lah, bukan langsung pergi begitu saja.
"Sabar Atalie." Gumamku lalu bergegas ke toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batari
Teen FictionAtalie Batari Agni. Gadis yang murni dan berwajah bidadari, namun memiliki sedikit sisi api. Sisi yang hanya ditunjukkan kepada lelaki yang mengusik ketenangan hidupnya.