Saat yang lain tertawa, Sania hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya tertuju pada awan putih tebal yang seakan-akan berjalan.
Ya hari ini memang cerah sekali, matahari yang tidak tertutup awan semakin terasa panas saat kita beraktivitas di luar ruangan. Semilir angin membuat kesejukan sementara bagi mereka. Namun mereka tidak mengeluh, mereka tetap berjalan berkeliling sekolah untuk mendapat informasi.
"Kurasa pertanyaanmu tidak perlu dijawab, bukan begitu? Sa-ni-a?" Kata pria pendamping mereka yang berusaha membaca name tagnya.
Sania menatap mata pria itu dengan wajah datar seakan-akan malas berbicara,
"Oh ga usah ka, hehe maaf loh gue nanya gitu. Lanjut yu lanjut, sekarang mau kemana? Ke bagian kantin yuk kaa, laper gue.""Nanti ada ko waktu untuk istirahat, tidak perlu khawatir. Sekarang kita ke bagian belakang. Mari jalan." Jelas pria itu menunjuk ke arah kantin.
"Ih kaka mainnya di belakang, jangan main dibelakang ka apalagi nusuk dari belakang. Sakit loh." Sania mengahayati perkataannya dengan mengelus dadanya sambil memasang wajah yang seakan-akan tersakiti.
"Hahahahahaaa."
Semua tertawa saat Sania berkata seperti itu, Sania adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Sania berbeda dari yang lain. Kebanyakan atau hampir semua anak yang baru masuk hanya diam, mengangguk dan terus berjalan mengikuti intruksi tanpa bertanya. Menatap anggota osis saja mereka malu. Bagaimana bisa mereka bertanya.
"Sania apa kamu mau menggantikan saya sebagai pendamping kalian? Saya kira kamu sudah mengetahui detail sekolah ini." Tanya pria itu dengan tatapan tajam.
"Yaelah ka, jangan ngambek dong. Gue kan cuman bercanda, unch unch maaf deh. Gue diem nih." Sania melengos malas menanggapi tatapan itu. Rasanya ia hanya ingin memukul pria yang tadi menatapnya.
"Lebih baik kamu diam." Tegas pria itu.
"Kalau gue diem nanti yang bikin ketawa siapa?" Sania menggidikkan bahu.
"Diam!" Tegasnya lagi.
"Jangan marah-marah ka. Ntar lo tua, serius kata nenek gue gitu." Sania memasukkan tangan kanannya ke saku roknya.
"Apa-apaan sih kamu?" Tanya pria itu risih.
"Nasehat orang tua harus ditaati." Kata Sania santai.
"Selama nasehat itu benar Sania." Kata pria itu sambil merapihkan blezernya.
"Ya nasehat tadi juga bener, buktinya muka lo lama-lama banyak kerutan. Keriput terus tua." Sania menunjuk wajah pria dihadapannya itu.
"Saniaa!" Pria itu berteriak marah, seolah kesabarannya habis oleh Sania.
"Ampun, lindungi gue mak!" Sania bersembunyi dibelakang tubuh Seren.
"San mending lo diem deh." Seren menyarankan. Saran Seren lebih dia terima dari pada anggota osis tadi.
"Hm" Sania melakukan kebiasannya, berdeham.
Perjalanan mereka menelusuri sekolah terasa begitu membosankan semenjak Sania bungkam. Sedari tadi Sania hanya berdeham menanggapi pertanyaan pendamping mereka.
"Sudah selesai tournya, apa kalian cape? Mari ke kantin. Sudah waktunya istirahat." Seru pria sambil duduk di hadapan mereka, mereka pun mengikutinya.
"Yeeess akhirnyaa, perut gue udah kosong banget dari tadi." Timpal Sania lega.
"Silahkan Sania bila ingin membeli sesuatu untuk mengisi perutmu yang kau bilang kosong." Kata pria itu sambil duduk di bawah pohon mangga.
"Ah bahasa lo baku banget, ngeri gue. Baayy gue mau jajan." Kata Sania berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You Babe❤
RandomGue udah putusin kalau gue akan terus mencintai lo. Ya walau sikap lo yang kadang anget terus dingin lagi, gapapa lah ya. Liat rambut lo di keramaian aja udah seneng, apa lagi liat senyum lo. Gue ga tau lo suka sama siapa, atau mungkin cinta sama si...