Dari sekian banyak kemustahilan dalam hidupnya, Sean adalah orang pertama yang membuat hidupnya yang awalnya impossible, kini menjadi possible. Ruby memang tidak mengerti, atau bahkan tidak akan pernah mengerti dengan jalan pikiran Sean yang begitu susah di tebak. Lelaki itu memiliki bermacam-macam kepribadian yang membuatnya bingung. Sean memang kadang dingin dan menyebalkan, tapi di lain sisi Sean adalah orang yang misterius karena sangat pintar menyembunyikan perasaannya.
Seperti sekarang ini, Sean membawanya ke Time zone. Di luar ekspetasi Ruby, dalam sekali waktu Sean berubah menjadi pribadi lain yang berubah drastis. Ia melakukan hal yang sama persis saat lelaki itu bermain PS4 di rumahnya. Sean yang biasanya irit dan ketus saat berbicara, kini heboh sendiri saat bekecimpung dalam dunia game.
Ruby yang memang kurang mengerti dengan dunia game, hanya bisa menonton cara Sean bermain dari jarak yang cukup dekat. Entah kenapa ia tidak bisa untuk tidak menarik sudut bibirnya ketika Sean bertingkah seperti anak kecil saat bermain permainan tembak-tembakkan.
"Kenapa lo senyum-senyum?" tegur Sean tiba-tiba setelah selesai memainkan game-nya. Ruby yang terlanjur gelagapan pun hanya dapat menggelengkan kepalanya cepat. "E- enggak kok. Siapa juga yang senyum!" elaknya melenyapkan senyum itu dari wajahnya.
Saat Ruby berusaha membuang wajahnya, tangan Sean sudah terlebih dahulu menarik lengannya. Menggantikan posisi Sean yang sempat berdiri di depan sebuah Archade.
"Pegang." Interupsi Sean menyerahkan senjata tembakannya kepada Ruby. Ragu, Ruby menatap pistol mainan itu dan Sean secara bergantian hingga akhirnya ia yang mengambil alih pistol mainan yang dipegang Sean. "Ini buat apa?" tanyanya polos.
"Buat nyangkul," sahut Sean setengah bercanda. Tapi ekspresinya tidak menggambarkan bahwa ia sedang bercanda. Karena ekspresinya terlalu datar untuk dibaca dengan mudah. Ia lalu melanjutkan, "ya buat nembak lah. Bego banget sih lo."
Makian Sean membuat Ruby cemberut. "Iya gue juga tau," ujarnya melengos malas.
"Terus kenapa nanya?"
"Ya karena maksud gue itu, ngapain lo ngasih gue tembak-tembakkan ini?"
"Buat main."
Ruby menggeram tak tertahan. Mendadak ia menyesal karena sudah tersenyum untuk Sean. Orang menyebalkan, selamanya akan menjadi menyebalkan. Tidak bisa tiba-tiba berubah menjadi menyenangkan. Menunggu Sean menjadi orang yang seperti itu, seperti menunggu setan untuk keluar dari neraka.
"Lo tuh nyebelin banget ya!"
"Emang."
"Ish das--"
"Gue ajarin lo main game."
Ruby refleks mengatupkan mulutnya menatap Sean tak percaya.
Tuh 'kan gue bilang juga apa. Kepribadiannya udah berubah lagi dalam kurun waktu sedetik!
"A-apa?!"
Sean berdecak kesal karena lagi-lagi ia harus mengulang ucapannya. "Gue ajarin lo main game. Jangan sok belagak bolot!" ketusnya membuat Ruby mengerucutkan bibirnya sebal.
Andai saja kalau pistol mainan yang dipegang Ruby adalah pistol sungguhan, mungkin ia akan menembak Sean sekarang juga tanpa harus berpikir panjang.
"Terus ini gimana cara maininnya?" tanya Ruby menatap Sean polos. Ia sudah memasang kuda-kuda seperti ingin melakukan genjatan senjata sambil menodongkan pistol mainan itu ke layar game. Bergaya seperti penembak profesional dengan gerakan mulut tanpa suara.
Sean diam-diam mendengus geli melihat aksi Ruby yang begitu polosnya. "Santai aja. Lebay." ucapnya. Ia lalu berdiri di samping kiri Ruby dengan mata terarah ke layar game. Raut wajahnya tampak serius kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
JET BLACK HEART
Teen Fiction[Sequel dari cerita "30 DAYS FOR LOVE"] Seumur hidupnya, Ruby tidak pernah membayangkan akan tinggal di satu atap bersama dengan Sean, si lelaki dingin dan angkuh yang sangat asing baginya. Namun di sisi lain, Ruby merasa aneh dengan perasaannya yan...