Islam dan Barat
Opini Oleh : Miftahurrabbani 19 Januari 2012 - 09:17 am
Karena mengabaikan isu-isu sentral dan terpaku oleh masalah pinggiran, Islam dan Barat seolah-olah sedang berhadapan satu sama lain. Buku Huntington tentang Benturan Peradaban-Peradaban (1996) semakin memperburuk suasana, sekalipun yang sedang berbenturan itu katanya tidak hanya Barat dan Islam, tetapi juga Barat dan Konfusianisme. Kritik terhadap hipotesis Huntington ini sudah merebak dari segala penjuru, tetapi tetap saja ada yang percaya.
Semakin orang percaya, semakin tampak bahwa Huntington berada di pihak yang benar. Suasana semakin tak terkendali setelah tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantakkan gedung kembar di New York oleh beberapa pelaku Arab Muslim. Dunia Islam mengutuk tragedi ini dengan cara yang sangat keras, tetapi tetap saja Barat, khususnya Presiden Bush menuduh orang Islam sebagai teroris. Kelanjutannya adalah penghancuran Afghanistan dan Irak oleh Amerika dan sekutunya. Akibatnya sebagian orang Islam menjadi putus asa dan memberi balasan dengan cara yang cukup menakutkan: bom bunuh diri yang menghantui dunia, termasuk dunia Muslim.
Dewan Gereja Dunia dalam sidangnya di Porto Alegre, Brazilia, 14-23 Februari 2006, telah mengkritik penggunaan kekuatan konter teror [oleh Amerika dan sekutunya] yang ternyata telah membuahkan kerusakan dan rasa takut di kalangan rakyat yang terkena. Sebagaimana kita ketahui, tuduhan terhadap Irak punya senjata pembunuh massal hanyalah sebuah isapan jempol. Sayangnya protes pemimpin gereja itu sudah sangat terlambat dan tidak langsung menyebut Amerika, setelah bumi Irak babak belur dihantam bom Barat dan bom perang saudara. Kita tidak tahu sudah berapa puluh ribu nyawa melayang, termasuk tentara Amerika dan sekutunya sebagai biaya dari petualangan imperialistik ini. PBB tak berdaya menyetop ambisi perang para petualang ini.
Ajaibnya adalah Amerika hanya berani menghantam negara-negara kecil yang lemah dengan dalih pre-emptive strike (pukul dulu). Coba misalnya berani mengutik Cina karena pohon nuklirnya cukup dahsyat, Amerika pasti akan berfikir seribu kali. Sekarang Iran juga sedang dibidik karena program nuklirnya, sementara Israel malah dibantu untuk mengembangkan senjata nuklir yang mematikan itu. Sikap diskriminatif ini telah semakin memperburuk hubungan Barat dan Islam, padahal dari 1,3 miliar umat Islam di muka bumi, sekitar 99 persen plus adalah manusia pencinta damai dan anti perang.
Mengapa suasana buruk ini masih saja berlangsung dan budaya saling tidak percaya malah semakin kuat? Dua sarjana Barat yang faham Islam telah memberi jawaban. Pertama, setengah abad yang lalu Wilfred Cantwell Smith dengan karya klasiknya Islam in Modern History. Bergenfield, N.J.: New American Library, 1959, hlm. 305); kedua, Karen Armstrong melalui beberapa karyanya yang berkaitan Islam dan nabi Muhammad.
Smith mengakui bahwa dunia Islam sarat dengan masalah akibat ketertinggalan mereka dalam perlombaan peradaban. Tetapi peradaban Barat dan gereja Kristen juga punya masalah bila berhubungan dengan Islam. Smith menulis: baik Barat maupun Kristen, "tidak punya kemampuan untuk mengakui bahwa mereka menggunakan planet ini bukan bersama mereka yang inferior tetapi dengan mereka yang sederajat. Selama peradaban Barat secara intelektual, sosial, politik, dan ekonomi, dan gereja Kristen secara teologis, tidak dapat memperlakukan pihak lain dengan rasa hormat yang mendasar, keduanya pada gilirannya pasti akan gagal menerima kenyataan-kenyataan abad ke-20 [dan abad ke-21]. Masalah yang muncul di sini tentu saja berkaitan dengan persoalan yang amat dalam karena kita telah menyentuh Islam."
Armstrong mendukung pendapat Smith ini. Dia menulis: "Kenyataannya adalah bahwa Islam dan Barat memiliki tradisi yang sama. Sejak zaman Nabi Muhammad, umat Islam telah mengakui ini, tetapi Barat tidak mau menerimanya. Kini sebagian orang Islam mulai menentang kultur Ahli Kitab, yang telah menghina dan merendahkan mereka. Mereka bahkan telah mulai mengislamkan kebencian baru mereka itu." (Lih. Muhammad: A Biography of the Prophet. New York: HarperCollins, 1993, hlm. 266).
Sebagai kelompok manusia yang dihina dan dipepetkan, memang sebagian kecil Muslim telah memilih mati dari pada hidup. Maka dikembangkanlah semacam teologi maut dengan iming-iming surga dengan segala kebahagiaan yang sedang menunggu. Ungkapan Armstrong "mengislamkan kebencian baru" sungguh patut kita perhatikan. Kita di sini adalah Barat dan Muslim. Dunia tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa budaya saling percaya. Syaratnya adalah: Barat harus meninggalkan kepongahannya yang mengundang perlawanan. Sebaliknya umat Islam harus pula membuang jauh-jauh teologi mautnya, sebab pasti akan berujung dengan kehancuran diri sendiri dan orang lain. Islam bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membangun peradaban yang adil dan ramah.
(Ahmad Syafii Maarif )= Angnashir Miftahurrabbani Bengkong Kolam Mas Batam