Siapa?

10 2 3
                                    

Aku merasakan beban berat di sekujur tubuhku seolah tiga ekor gajah dewasa bersantai di atasnya hingga aku tidak dapat menggerakkan secuilpun anggota tubuhku.
Bahkan kelopak mataku pun seperti berperekat lem tikus.
Dan ya, satu lagi yang parah, paru-paruku. Setengah mati aku mencoba meraup udara.
Ya. Setengah mati.
Aku merasa itulah kata yang tepat untuk menggambarkan diriku yang sekarang ini dan aku yakin kenyataannyapun seperti itu.

Benakku melayang-layang dalam kehampaan. Waktu seolah-olah beranjak abadi sebab aku tak tahu berapa lama ini akan berakhir. Sebenarnya aku menghitung. Namun dihitungan ke limaratus limapuluh satu aku mulai bosan. Aku menyerah. Aku ingin lekas mati saja.

Di tengah pikiran dan perasaan putus asaku ini, tiba-tiba aku merasa lenganku menghangat. Sapuan ringan di lengan kananku perlahan merayap naik menuju pundakku. Kehangatan itu menyebar lewat saraf-sarafku yang meradang. Aku mencoba meraihnya. Menyerapnya. Merengkuh kehangatan yang menyenangkan.

Belaian lembut seringan bulu menyapu mataku. Aku kembali merasakan mataku saat itu juga. Perlahan kugerakkan kedua kelopaknya. Aku mengedip. Sekali. Dua kali.
Menatap lurus dengan jelas. Sejelas bila aku memakai kacamataku.
Langit-langit putih tinggi dengan lampu seterang matahari menyinari mataku. Tapi mataku tidak merasa pedih. Aku bahkan tidak merasakan apapun.

Rasa penasaran membuat tatapanku turun menyidik beban berat di tubuhku. Tidak ada gajah. Benar. Sama sekali tidak ada gajah. Hanya ada selang. Dan masker aneh di mulutku.
Dan selang di hidungku.
Dan selang di tanganku.
Dan selang di antara pahaku. Dan selang dimana-mana.
Selang yang beratnya melebihi 3 gajah.

Lihat ke sebelah kirimu.

Perintah sebuah suara. Suara yang lembut. Seolah menelisik ke dalam hatimu. Merasuk jiwamu. Suara yang begitu kau rindukan dan ingin kau dengar setiap saat. Dan suara yang tak bisa kau tolak. Tubuhku refleks mengikuti perintah walaupun sebenarnya hatiku ingin mencari pemilik suara itu lebih dulu.

Di sebelah kiriku ada pintu kaca setinggi kayu putih yang membingkainya. Seorang anak berdiri di luar pintu. Menunduk. Matanya terpejam. Tangannya terlipat di dada seperti sedang berdoa. Aku tidak mengenalnya.

Dia berdoa untukmu.

Kini aku dengan senang hati menoleh ke sisi kananku. Pastilah pemilik suara itu adalah pemilik sapuan hangat tadi. Aku menelengkan kepala perlahan. Kosong. Tidak ada siapapun. Bagaimana mungkin? Aku jelas-jelas mendengar suara! Mulutku bergerak-gerak. Aku ingin bertanya 'siapa kau?' tapi yang keluar hanya udara. Aku begitu payah. Aku seperti ikan koki disini. Hallo? Adakah yang bisa melepaskan penutup mulut ini sebentar?

Kau tidak bisa melihatku. Belum saatnya.

Aku tahu 'dia' ada di sisi kananku. Tapi aku benar-benar tak bisa melihat sosok apapun. Hanya ada gorden krem cerah yang tersibak sedikit.
Ah. Aku tahu sekarang. Aku di rumah sakit. Tapi mengapa aku ada di rumah sakit? Dilihat dari banyaknya pipa elastis ini, sepertinya aku sekarat.

Benar, kau sekarat. Hampir mati.

Lalu? Aku berbincang dengan 'suara' itu. Tampaknya 'ia' mengerti pikiranku. Dia bisa bertelepati denganku. Wow. Dia memiliki kemampuan membaca pikiran. Wow. Dan aku langsung teringat sebuah film.

Aku datang karena anak itu memintaku untuk menolongmu. Aku tersentuh dengan begitu banyak airmata yang dia curahkan untukmu. Aku ingin melihat apakah kau layak untuk airmatanya.

Aku mengerjap. Aku menoleh lagi pada anak yang 'suara' itu bicarakan. Matanya masih terpejam. Yang aku amati sekarang adalah ternyata mulutnya berkomat-kamit. Dia jelas sedang berdoa. Berdoa dengan sungguh-sungguh. Itu terlihat dari betapa dalamnya kerutan di antara dahinya. Aku jadi penasaran. Dari sekian banyak keluargaku, sahabatku, rekan bisnisku, teman gereja, apakah hanya dia yang berdoa dan menangis untukku?

Ya. Hanya dia.

Bagaimana kau tahu?

Aku tahu.

Mengapa?

Karena padaKu lah anak itu berdoa. Tidak ada yang lain. Hanya anak itu.

Berdoa...pada...mu...?

Ya.

Apakah 'kau' ini Tuhan?

Ya. Akulah Dia.

Mustahil. Apa aku sudah mati? Aku menatap nyalang langit-langit yang terang benderang oleh lampu. Aku sedang berbincang dengan Tuhan? Mustahil. Aku ingat kehidupanku sebelum ini. Aku ingat segala perbuatanku. Dan aku tahu seharusnya aku ada di neraka sekarang. Bagaimana mungkin Tuhan berbicara padaku?

Benar. Kau rusak. Tapi Aku mengasihimu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Da CapoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang