16. Sejalur Bifurkasi

22.5K 2.6K 328
                                    

Kalau saja kebahagiaan atau kesedihan adalah sesuatu yang bisa ditimbang, Kejora yakin, tak ada satu pun neraca yang bisa menimbang dengan hasil valid. Keduanya bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda dalam menentukan kadar bahagia dan kadar dukanya. Beberapa orang bahagia dengan beberapa faktor tertentu. Misal, status pernikahan, uang, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Namun, beberapa orang yang sudah mencapai semua hal itu, belum tentu pula mencapai bahagia. Dan satu-satunya yang bisa menjaga dirinya agar selalu merasa bahagia adalah menemukan makna terhadap hal-hal yang dialami setiap hari. Seseorang yang bahagia bukan berarti tidak pernah menderita. Sebab kebahagiaan tidak tergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang datang, melainkan sejauh mana seseorang memiliki reliensi, yaitu kemampuan untuk bangkit dari peristiwa terpahit sekalipun.

Dan..., semua itu terlihat dalam diri Jao.

Pria itu terlihat lebih menghargai diri sendiri; bangun pagi untuk ibadah lalu dilanjut olahraga. Untuk pola hidup yang lebih sehat dan teratur. Juga untuk mendekatkan diri padaNya. Lagi. Begitu alasan Jao. Omong-omong, dia mengatakan itu sambil mencium puncak kepala Kejora dengan segenap perasaan yang diamiliki.

Poin kedua, Jao lebih terbuka pada Kejora. Memberi kabar setiap pulang larut atau tiba-tiba ada meeting di luar kota yang menyebabkannya tidak bisa pulang. Dia juga menerima saran yang diberikan Kejora. Yakni membawa bekal makanan ke kantor. Alasan awalnya agar bisa berhemat. Walau pada akhirnya, Jao mengerti bahwa masakan Kejora adalah cinta. Rasanya, setiap kali mengunyah makanan itu ada sesuatu yang meledak di hatinya. Ledakan itu berisi kebahagian yang sempurna. Dia bisa senyum-senyum sendiri hanya karena makanan. Oh ya, kabar ini didapat Kejora dari Berlian.

Dia tertawa sampai perutnya mulas mendengar cerita konyol Jao.

Keki pada kelakuan abangnya yang curhat di telepon dan tidak berani jujur pada kakak iparnya, Berlian menyarankan pada Jao agar mengantongi foto Kejora. Berlian optimis, foto-foto itu bisa mengenyangkan. Saran sinting itu berhasil membuat Kejora tertawa lagi, sampai pipinya terasa sakit saat digerakkan.

Obrolan itu harus berakhir ketika Jao datang bersama Roji. Sekalipun lelah tergambar jelas dari matanya yang sayu, senyum di bibir Jao membangkitkan perasaan lega. Apalagi, ketika dirinya mencium tangan kemudian Jao menarik dirinya agar bisa dipeluk. Cokelat saja kalah manisnya. Gula apalagi. Sakarin? Jangan dicicipi! Zat aditif tidak terlalu bagus untuk kesehatan.

"Hei, peluknya jangan terlalu erat," gumam Jao di telinga Kejora.

Yang ditegur malah mengedipkan mata, bodoh.

"Aku tahu bahwa kamu kangen padaku. Tapi, jangan sekarang. Ada Berlian dan Roji. Kamu tidak akan memberi tontonan gratis ke mereka, kan?" lanjut Jao, selalu ada saja alasan untuk menyudutkan Kejora.

"Bilang saja, kamu tidak berani, iya 'kan?" Kejora melepas pelukannya, ganti berbisik.

Jao menaikkan alis kanan tinggi-tinggi. Dengar ya, para wanita, selama bersama pria, jangan sekali-kali menyinggung egonya. Atau hal buruk terjadi padamu. Dan itu dialami Kejora. Ketika Jao merasa tertantang, dia tidak berpikir dua kali untuk membatalkan tindakannya. Bibirnya menyentuh kening istrinya. Kejora punya firasat buruk. Dan terbukti saat Jao menurunkan ciumannya.

Berlian terpekik sampai jangka sorongnya jatuh ke lantai. Roji menahan napas sambil menutup matanya dengan jemari yang sengaja dibuka agar bisa tetap melihat atasannya bermesraan. Tiba-tiba nalurinya sebagai jomblo terbakar bulat-bulat. Angin yang datang dari kisi-kisi jendela tidak menyelamatkan pori-pori kulitnya yang panas mendadak.

***

"Kita mau kemana?" Kejora menggaruk pelipis, kemudian menyetel AC agar lebih dingin.

Jao asyik menyetir seolah-olah tidak mendengar sekitar.

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang