Sangkar Hampa Cahaya
Oleh: Windhy Veronica
by http://blogislami.mwb.im
Tanganku gemetar, ujung-ujung jariku pun tak sanggup lagi mengawinkan tinta hitam pada ujung pena dengan kertas berwajah putih mulus itu. Napasku sesak. Sajak-sajak yang ku tulis semakin rancu, tumpang tindih tak menyirat makna sama sekali. Gelap semakin menjadi-jadi seperti ingin menerkamku dari dunia nyata lalu hilang bersama pekat jelaganya. Hembus beku angin malam meremukkan tulangku, begitu dingin.
Daun telingaku teremas-remas oleh dering lonceng yang mengayun kencang di atas keraton hijau pencakar langit itu, tepat di arah barat daya. Angin memukulnya dengan lengan besi berotot kekar, bising memecah hening pekat malam. Halilintar menyambar-nyambar di atap rumah tua dan sempit tempatku berdiam diri ini. Air mata langit semakin deras mengguyur wajah tanah yang renta kering kerontang. Seakan ada percikan dendam disetiap deru riuh tetesannya.
Cahaya terang menyapa sesekali setelah bunyi keras menghantam, merobek pendengaran. Membuat dadaku semakin sesak.
Terdengar suara gaduh dan kaca-kaca pecah, kemudian disusul jerit kesakitan di ujung bangunan sana. Hampir setiap malamnya begitu. Ku nikmati seteguk wedang jahe dengan tiga kuntum bunga melati yang mengambang di atasnya. Ku hirup aroma wangi, ku telan, dan ku rasakan kehangatan menyapa kerongkongan , lalu menyebar ke seluruh badan. Napasku mulai lega.
****
Ku lihat seekor burung manis bertengger manja di jendela kamarku. Bulu-bulu lembutnya basah kuyup. Ada sepucuk surat beramplop biru dengan pita merah melengkung mengikat di paruhnya. Ku ambil kertas yang sedikit basah itu, lalu ku baca tulisan-tulisan yang agak luntur di dalamnya, sembari ku usap bulu burung tersebut biar cepat mengering dan mengurangi kedinginannya.
"Biasa, dengan kehadiran burung cerucuk ini, ku kirimkan senandung rinduku yang bermunajat memanjat salam untukmu, Sekar Ningrum. Apa kabar kau disana? Sudah lama sekali kau tak membalas suratku. Setiap malamnya kau biarkan sajak-sajakku menduda tanpa pendamping. Entah apa yang terjadi padamu kali ini. Aku tak tahu. Jikalau dapat aku melipat samudra penghalang ini menjadi satu jengkal tangan, maka akan ku bentangkan langkahku menghampirimu, mengecup wajahmu yang ranum merekah itu. Namun sekat pembatas ini tak mungkin ku tembus. Aku terkurung! Aku terbekuk ! aku tak dapat menyelinap menuju gaba-gaba hatimu yang rindang hijau sejuk semilir itu.
Aku hanya bisa lewat dengan sepucuk surat muara kasih ujung pena. Sekar, aku benar merindu pada goresan tinta yang menari gemulai dari ujung-ujung jarimu yang indah meruncing itu.
Purnama".
Sudah ku duga, surat ini pasti dari Adijaya Purnamasidi.
Bulu burung cerucuk pun sudah kering, kali ini matanya menatapku tajam. Aku mengerti apa yang ia pikirkan, seperti biasanya, itu isyarat ia meminta imbalan surat dariku. Ku sodorkan jari telunjukku dekat di ujung paruhnya. "Mendekatlah sayang, ini imbalan untukmu saat ini, patoklah, sampaikan darah pahitku pada tuan mu. Cepat bergegaslah terbang, hujan telah reda." Bisikku lembut.
****
Semalam aku susah tidur. Lebam tergambar jelas di sekitar kelopak mataku. Ku sedot cairan kemuning pada daging basah tak berbungkus kulit berwarna keungu-unguan bekas luka akibat sayat serpih kaca kemarin, tepat di lengan kananku. Kali ini ku cicipi sorot kilau kemuning dari ufuk timur yang baru saja ku intip dari lubang-lubang kecil kamarku, yang lebih pantas disebut sangkar.
Ya, kamar ini sempit, sepi, tak ada yang dapat menggangguku disini, begitu nyaman untuk diriku sendiri. Ya begitulah kamar yang lebih tepat ku sebut dengan sangkar. Sangkar tempat ku berkeluh menikmati segala sakit pada pedalaman diriku, dengan sendiri. Tiada ku ingin beranjak pergi dari sangkar itu.
"Lekas bangun ndhuk, embunmu sudah datang". Suara lirih Mbok Min pengasuhku waktu bayi, membangunkanku. Langkah lembut seret tongkat penopang tubuh yang tidak lagi tegap itu pun mengalunkan hymne kekeriputan zaman. Iya, punggungnya sudah layu termakan usia. Ku lihat di tangan tua kirinya menggenggam segelas wedang jahe dengan tiga kuntum bunga melati yang mengambang di atasnya, di kasihkannya padaku. Ku telan. Sedap nian.
Ku buka jendela sangkarku, ku luncurkan
mataku keluar menatap dunia. Benar
embunku sudah datang. Ku hirup, ku ciumi
bau tanah basah sisa hujan tadi malam. Ku
lihat lukisan alam dengan berbagai warna
terang melengkung di atas keraton hijau
pencakar langit itu. Bias putih pelangi itu
menerangi sangkarku yang gelap, hampa
cahaya. Sebenarnya aku rindu suasana
kedamaian di keratonku sana, namun jika aku
kesana, maka kaca-kaca tajam akan
mengkuliti tubuhku, bahkan benda-benda
tumpul akan melayang dari tangan kasar
penguasa itu dan mungkin aku akan
terbunuh. Oh aku tak sudi.
"Mbok, kenapa mbok betah tinggal sebatang
kara dirumah tua dan kecil ini selama
bertahun-tahun? pasti karena disini nyaman
dan damai ya mbok, udaranya juga begitu
segar, disana juga ada bunga-bunga
pagodaku yang sudah tumbuh beranak
pinak. Coba lihat, indah ya?" tanyaku sambil
nyengir, dengan mata berkaca-kaca.
"Aih, Sungguh tidak begitu ndhuk Sekar,
rumah ini justru seperti penjara bagi mbok.
Mbok merasa kesepian tiap harinya, begitu
sangat sepi. Dulu memang rumah ini terasa
nyaman dan seperti surga firdaus bagi mbok,
saat masih ada Pak Boyo suami mbok, Jaya
anak mbok, dan si Meong kuncing putih
kesayangan mbok. Keceriaan selalu menghiasi
rumah reot ini yang membikin mbok tak
pernah merasa sepi. Tapi itu dulu, bukan
sekarang. Sekarang ya rumah ini seperti
penjara ndhuk, mereka sudah pergi. Boyo
menceraikanku, lalu pergi merantau ke pulau
sebelah, juga Jaya telah diambil paksa untuk
tinggal bersamanya disana saat usianya
masih begitu kecil. Tak pernah sempat
ataupun bisa mbok menengok ataupun
menciumi anak satu-satunya itu. Pasti dia
sekarang juga sudah tumbuh dewasa
sepertimu nduk. Entahlah tak pernah ku
dengar lagi berita tentang Boyo ndhuk, kata
orang sih Boyo dipaksa menikahi seorang
Ratu Soya, Ratu tua yang menjanda bertahun-
tahun di pulau sebelah itu. Kata orang juga si Ratu itu sangat tergila-gila padanya. Ya
begitulah kata orang, entah benar entah tidak aku juga ndak tahu ndhuk."
********