Aku terdiam terpaku di depan bangunan yang sangat kubenci. Sebuah gedung seni yang indah dipandang, menjulang di antara bangunan yang lainnya. Aku membenci tempat itu. Karena disana, aku menyimpan terlalu banyak kenangan. Karena disana, aku menemukan sebauh takdir. Karena disana, aku bertemu dengannya.
Aku berjalan memasuki gedung yang cukup lenggang. Karena hari ini gedung ditutup karena sedang libur, hanya ada beberapa pekerja yang berlalu lalang. Aku menyusuri lorong-lorong yang sudah begitu ku kenal, karena dulu aku cukup lama berada di tempat seni ini. “Hmm.. tempat ini tidak terlalu banyak berubah.” Gumamku sambil menatap sekeliling.
“Rose ?” gumaman itu menghentikan langkahku. “Rose ? kaukah itu ?” pertanyaan itu berasal dari orang yang berdiri tidak jauh dihadapanku. Aku mengamati orang itu sekilas. Dan langsung tersenyum saat sadar siapa dia.
“Hallo Samuel...” ucapku sambil melangkah mendekatinya. Samuel, orang itu, langsung tersenyum lebar saat aku menyapa.
“Ternyata memang kau.” Ujarnya. Aku memeluknya sekilas.
“Bagaimana kabarmu Samuel ??” tanyaku sembari memperhatikan dirinya dari atas hingga bawah.
“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” Jawabnya. Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Bagaimana denganmu Rose ?” tanyanya.
“Sangat baik.” Jawabku. Meski tidak pernah sebaik dulu.
“Apa yang membuatmu datang kemari Rose ?” tanya Samuel. Dia sedang menemaniku berkeliling gedung.
Aku mengedikkan bahu, “Entahlah, aku hanya sedang merasa ingin mengunjungi tempatku dulu belajar.” Jawabku, meskipun aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri. Samuel hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Aku menghentikan langkahku saat melihat sebuah pintu yang sudah tidak asing lagi bagiku. Pintu yang selalu kubuka saat aku masih berada disini. Samuel menatapku dan pintu itu bergantian.
“Kau mau masuk ?” tanyanya.
Aku menoleh padanya, “Apa ?” tanyaku. Samuel berjalan dan membuka pintu itu. Dia berdiri di ambang pintu, seperti mempersilahkanku untuk masuk. Aku mulai melangkah dengan enggan. Aku mengamati seluruh ruangan yang berukuran sedang itu.
“Tidak berubah.” Ujarku.
“Aku sengaja membiarkan ruangan ini untuk tetap seperti semula.” Ujar Samuel. Aku menoleh padanya.
“Kau merapihkan tempat ini ? ” tanyaku.
Samuel mengangkat kedua bahunya, “Hanya itu cara untuk mengenang kalian berdua.” Jawabnya. Aku tersenyum miris mendengarnya.
“Mengenang kami ya...” gumamku sambil menerawang keluar jendela.
Aku teringat saat aku berlari pergi dari rehearsal piano 5 tahun yang lalu. Pergi secepat mungkin untuk menemukan kenyataan bahwa dia telah pergi.
“Kau tahu Samuel ?” tanyaku sambil mencengkeram erat kedua lenganku. “Sedikit berat bagiku untuk kembali kesini. Kembali ke tempat dimana semuanya bermula.” Ujarku dengan pandangan menerawang. Aku menatap langit biru yang begitu terang. “Sebenarnya, aku membenci tempat ini. Karena aku terlalu menyimpan banyak kenangan tentang dirinya.” Lanjutku. Aku menoleh dan menatap Samuel , lalu tersenyum pahit. “Aku bodoh bukan ? aku membenci semua kenanganku tentangnya.” Ujarku. Samuel menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak bodoh Rose. Kau hanya, yah, terlalu mencintainya.” Balasnya.
“Aku juga benci kenyataan itu. Aku benci kenyataan bahwa aku terlalu mencintainya, hingga takut kehilangannya. Karena dia sudah tidak mungkin untuk kembali lagi bersama kita.” Aku menyeka air mata yang mulai membasahi pipiku. Aku benci saat aku menjadi gadis yang cengeng. Kenapa banyak sekali hal yang kubenci ?
“Ditempat ini aku bertemu dengannya Samuel. Dan di tempat ini juga aku kehilangannya.” Ujarku. “Bisa kau bayangkan betapa aku membenci tempat ini ?” tanyaku sambil bergurau. Samuel tidak menanggapi candaanku. Dia mendekatiku dan menyentuh puncak kepalaku.
“Jangan tertawa padahal kau menangis Rose...” ujarnya lembut. Dan seketika, benteng yang kubangun untuk tidak jatuh seperti dulu hancur. Aku membiarkan tangis ku pecah dihadapan Samuel.
“Aku masih merasa bisa mendengarnya saat menyebut namaku.” Ujarku di sela isak tangis. Samuel mengelus kepalaku lembut. “Rosetta” bayangannya saat menyebut namaku terngiang dikepala. "Aku akan memanggil mu Rosetta." Seseorang yang tidak akan pernah bisa kembali bersamaku. Seseorang yang tidak akan bisa kugapai lagi. Semua kenangan yang kumiliki dengannya, kembali menyeruak dihatiku. Ya, disinilah kotak pandora ku dengannya. Seseorang bernama Keith Vastar.
“Rose..” panggilan Samuel membuatku menoleh. “Jangan terlalu membebani dirimu sendiri dengan luka lama. Biarkan sebuah luka menjadi kenangan abadi yang tak terlupakan. Bukannya menjadi sebuah beban yang takkan pernah bisa kau singkirkan selamanya.” Ujarnya.
Aku tersenyum mendengarnya. “Kau tahu kan Samuel ? betapa aku membenci kenyataan bahwa aku masih mencintai Keith hingga sekarang. Meski waktu terus berjalan, ingatannku tentangnya seakan terkunci dan tak ingin bergerak maju.” Ujarku. Aku tersenyum dan menatapnya, “Tapi kenangan manis tidak akan pernah ada tanpa kenangan pahit kan ?” tanyaku dengan senyum merekah. Samuel tersenyum dan mengangguk.
“Hanya Keith yang bisa meninggalkan kedua hal itu padamu Rose.” Jawabnya.
Aku terkekeh, “Aku akan tetap membiarkannya menjadi seseorang yang spesial. Meski itu menyakitkan.” Ujarku. Samuel mengangguk yakin. Aku menoleh padanya, “Sampai jumpa Samuel.” Ujarku dan melangkah pergi meninggalkan gedung.
“Sampai jumpa.” Balasnya. Aku berbalik dan melambainya. Dia balas melambai, dan kembali masuk gedung.
Aku menatap tulisan besar di gerbang masuk. “Vivere" yang berarti kehidupan. Aku menatap gedung itu sekali lagi. Ya, disinilah aku mulai belajar kehidupan. Aku meneruskan kembali jalanku. Keith, aku akan selalu mengenangmu. Kenangan manis maupun pahit. Karena tak mungkin terasa manis jika belum merasakan pahit..The end..
XOXO..