Prolog

199K 3.7K 105
                                    

Re-Publish :)


Pandangan Wega beredar pada suasana pesta yang terasa membosankan. Malam itu gadis-gadis yang seharusnya menjadi mahluk Tuhan paling menyenangkan justru menjemukan untuk dipandang berlama-lama. Semua terlihat serupa, meski penampilan mereka beda.

"Semua mata memandangmu, the most eyecatching man of the party." Theo meledek Wega sambil mengarahkan gelas sampanye di tangannya pada sekumpulan gadis yang sedari tadi terfokus pada keberadaan mereka berdua di pesta.

"Sepertinya mereka lagi main tebak-tebakan merek baju yang aku pakai," Wega menyesap sampanye tanpa mengacuhkan apa yang ditunjuk Theo.

Sebagai teman dekat , Theo sangat hapal dengan sifat pembosan Wega yang melagenda. Dan sekarang tanpa perlu bertanya Theo tahu jika mood Wega sedang tidak bagus. "Siapa gadis terakhir yang kamu ajak jalan?"

"Jessica—entah siapa—yang katanya bintang sinetron kejar tayang."

"Sepertinya kamu harus cari pacar lagi, minggu depan Alex bikin private party untuk pamer pacar barunya. Enggak mungkin kan, kamu dateng ke sana sendirian."

Mata Wega terpicing penuh ketertarikan mendengar gosip bahwa saingannya akan pamer pacar baru. "Oh ya? Siapa?"

"Entahlah. Tapi katanya sih model dari Seoul."

Wega terdiam, benaknya tertuju pada deretan teman wanita berdarah Asia Timur yang sudah lama jadi sejarah. Kecenderungan terbarunya pada cewek model asal Eropa Timur saja sudah hampir pupus, dan membayangkan harus kembali 'jalan' dengan mantan membuatnya jijik.

Bagi Wega, kekasih tidak lebih penting dari setelan yang harus dia kenakan. Karena dia tidak pernah sudi terlihat memakai pakaian yang sama lebih dari dua kali maka hukum yang sama juga berlaku untuk pacar.

"Aku bosan dengan wajah asing," reaksi tak berminat tergambar jelas pada ekspresi wajah Wega.

"Sepertinya kamu beneran butuh pacar baru deh," gumam Theo pelan.

"Yeah! Tapi bukan sekarang."

"Terserah!" Theo menggedikkan bahunya acuh, menyerah mempengaruhi sahabatnya.

Malam masih belum larut ketika Wega memutuskan untuk pulang. Tindakan yang mengundang tatapan heran banyak mata di pesta, tidak terkecuali sopir yang terkejut ketika mendengar pintu mobil dibuka.

"Kita pulang," Wega menjawab pertanyaan yang tak berani sopirnya tanyakan. Penegasannya membuat si sopir langsung menghidupkan dan melajukan mobil seperti permintaan sang majikan.

Sepanjang perjalanan Wega mengalihkan pandangan ke luar. Merenungkan hari-hari yang berlangsung datar dan membosankan. Wega tidak tahu alasan yang membuatnya bertahan dari rasa muak saat menghabiskan waktu untuk hal-hal yang justru membuatnya makin bosan.

Lamunan itu terhenti ketika mobil membelok pada jalanan sepi yang ditumbuhi pepohonan pinus tinggi dan rindang, suasana yang menjadi ciri khas dari halaman rumah keluarga Pattinusa.

Dari kejauhan dua belas pilar tinggi yang menyangga teras rumah terlihat mencolok di antara bagian rumah yang lain. Di bawah naungan malam, rumah itu terlihat seperti pantheon. Cahaya lampu yang berasal dari lapangan kriket di depan rumah membuatnya berkilau dalam kemegahan dan keanggunan arsitektur renaisans yang di dominasi warna putih gading.

Biasanya Wega tidak akan peduli, tapi malam ini terasa berbeda. Rumah itu seperti memanggilnya untuk melihat sebuah kejutan besar yang sudah menanti.

Kejutan yang sama sekali tidak dia sangka.


Playboy Monarki The Series - Vanilla LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang