Ia adalah gadis yang berdiri di depan pintu keluar Wonderland.
"Kau berbohong kepadaku," Sei mendesis berbahaya, secara reflek mundur selangkah—menjauh dari pemuda berambut pirang yang tersenyum seolah ia adalah manusia yang bersih akan dosa. Sepasang iris cokelat tua berkilat, hampir berpendar dalam teror yang nyata.
Berbagai pikiran melintas, dipenuhi dengan rasa takut dan keyakinan atas ajal yang datang.
Hasegawa Aoi membuka kedua matanya, senyumnya menghilang. Dan sekilas, amarah melintas di dalam matanya, seolah ia tidak percaya Sei berkata begitu kepadanya. "Tidak, tentu saja tidak. Lebih baik aku mati daripada berbohong kepadamu."
Tetapi Sei tidak percaya.
"Aku tidak melihat pintu keluar dimana pun, Aoi," desis Sei lagi.
Aoi menggelengkan kepalanya, dan Sei baru menyadari sebuah anting rantai tipis yang tersembunyi oleh helai-helai rambut pirangnya—sejenak, dalam sebuah salah fokus yang tak penting, Sei bertanya-tanya ada berapa anting yang digunakan Aoi. Sama seperti Miyamura Atsushi dan semua tindikan di telinga kucingnya, apakah anting sedang trend atau apa?
Suara langkah kaki menampar Sei kembali ke realita.
"Tentu saja, karena yang tahu jalan keluarnya hanyalah Alice Milenium."
Waktunya semakin menipis. Sei hampir dapat mendengar desah napas dan degup jantungnya sendiri. Suara langkah kaki semakin mendekat, dan samar-samar, ia mulai mendengar pembicaraan, serta seretan senjata dan bilah pedang yang membuat jemarinya mendingin.
"Apakah tidak ada jalan lain?" suara Sei bergetar tanpa sadar.
Aoi tersenyum, tetapi matanya menggelap.
"Tentu saja ada," suaranya terdengar cerah, sangat salah tempat, sangat salah pada dasarnya.
Sei membeku ketika Aoi bergerak mendadak, terlalu cepat bagi matanya untuk melihat. Ketika gadis itu berkedip lagi, moncong pistol mengarah tepat ke depan wajahnya. Sei hampir dapat mencium bau mesiu dan peluru yang baru saja ditembakkan kepada Lucille.
Mad Hatter tersenyum lagi, kepalanya miring ke satu sisi.
Alice memucat—suara di kepalanya berteriak, menyalahkannya atas keputusan bodoh untuk mempercayai sang pemuda, mengutuki setiap nama yang ia ketahui. Gadis itu tahu cepat atau lambat ia akan mati sia-sia, tetapi bukan di tangan orang ini. Pemuda yang menghujaninya dengan kata cinta dan afeksi, dan tatapan penuh percaya diri, dan harapan esok hari lagi.
Jemari lentik menarik pelatuk sebelum jantung Sei sempat berdegup.
Suara tembakan menggema.
"Whoops!"
Alih-alih menembak dirinya seperti yang Sei kira, Aoi memanuver pistolnya dan menembak sesuatu tepat di sisi kepala Sei, terlalu dekat, terlalu nyaris, Sei hampir dapat merasakan sensasi kematian yang mencengkramnya. Gadis itu menoleh, mencari sumber suara.
Pemuda yang bersuara, yang menjadi target pistol Mad Hatter—Chesire Cat dengan tawanya—menaikkan kedua tangannya, mundur ke sisi yang lain. Sei dapat melihat darah yang mengalir dari luka gores di lehernya, tanda bahwa peluru Aoi memang untuknya.
"Atsu," dahi Aoi berkerut, jelas tidak mengapresiasi fakta bahwa Atsushi masih berdiri terlalu dekat dengan Sei, tetapi masih menahan diri karena mereka berdua adalah teman.
"Bukan hanya aku loh~" Atsushi bersenandung.
Sei tersentak ke samping hampir secara reflek, kepalanya seketika pening dan ia hampir melihat bintang-bintang menghiasi tatapannya, sebuah pedang memotong udara kosong dan beberapa helai rambut panjangnya yang terlambat menghindar selama sepersekian detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasiSatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?