Tania yang sejak tadi duduk diam sembari menatap padatnya jalanan senja itu, kini nampak mengernyitkan keningnya. Menatap calon suami masa depannya tersebut yang tengah menyetir dengan ekspresi batu. Sampai-sampai alis Tania yang badai karena pensil alis tersebut menjadi satu karena jarang-jarang Bram menjadi sependiam ini terutama saat bersamanya. Biasanya, Bram selalu mesra dan banyak ngobrol saat bersama Tania. Tidak seperti sekarang.
"Bram? Katanya mau ke kantor kamu dulu?" tanya Tania mengingatkan mungkin saja Bram lupa. Dia sadar, kalau kendaraan Bram itu tidak melewati jalur menuju biro arsitek milik Bram. Tapi sepertinya ke arah apartemennya.
Bram berdeham.
"Nggak jadi. Langsung ke tempatmu aja ya"
Tania lebih dari sekedar menerima.
"Nabila itu tadi temen apa, Bram?" tanya Tania tiba-tiba.
Bram mencengkram kemudinya berusaha tenang.
"Temen arsitek"
"Dia arsitek?" Tania terlonjak tidak yakin. Pasalnya, ia telah mengamati seluruh penampilan teman Bram tersebut. Nampak terlihat sebagai wanita culun dan anak rumahan. Pakaiannya memang rapi dan sopan, namun modelnya sudah terkikis zaman. Jangan salahkan Tania yang fashion desaigner dan selalu up to date dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan dilihat dari sekilas saja, rasanya konyol kalau benar Nabila tersebut berprofesi sebagai arsitek.
"Bukan sih. Cuman kenalan sesama penyuka arsitek" sebenarnya Bram bukan berdusta. Memang benar adanya. Mereka kenal karena Nabila menggilai karyanya. Walaupun Bram sendiri tidak menceritakan bagian dimana Nabila adalah sekertaris Dito.
Bram menoleh pada wanita disampingnya yang hanya manggut-manggut saja. Padahal Bram sudah siap untuk ditanya-tanyai lagi oleh Tania. Tapi melihat reaksi Tania yang berubah santai, dia yang jadi penasaran.
"Kamu nggak..cemburu sama Nabila kan, Tan?" tanya Bram mengetes apa kira-kira elakan Tania. Saat wanita itu malah cekikikan sendiri, Bram urung senang. Alih-alih bingung.
"Kamu ngarepin aku cemburu, Bram?"
"Nanya doang" Bram mengedikkan kedua bahunya serentak.
Tania terkikik lagi, "Nggaklah, Bram. Temen kamu tadi itu biasa banget. Aku yakin, kamu nggak tertarik sama tipe yang kaya gituan. Inget waktu kita pertama ketemu di acara lawyer itu? Kamu kaya kucing ngeliat aku sebagai ikan sardennya" papar Tania dengan sorot mata penuh percaya diri. Membuat Bram terhenyak di tempat mencoba meredamkan pikirannya yang berkecamuk.
Ia tahu Tania sempurna. Mungkin sesekali, Tania berhak menyombongkan diri dengan segala yang ia punya. Namun, perlukah Tania merendahkan seseorang dan membandingkan dengannya? Apa yang ia baru saja ucapkan? Nabila wanita biasa? Nabila bukan tipe Bram? Bram menggigit lidahnya sendiri berusaha untuk tidak emosi. Mengapa Tania menjadi sok tahu? Apa karena ia menyandang statusnya sebagai calon istri Bram, bukan berarti dia bisa mendikte seenaknya perasaan Bram kan? Bagaimana kalau Bram sudah lewat dari jalur yang biasa ia pijaki. Membelokkan setir dan mengejar wanita 'biasa' seperti Nabila?
Disitulah lelaki itu sedikit menyadari, Tania punya satu kelemahan yang terbalut akan kesempurnaannya. Hati Tania tidaklah seindah rupanya.
"Bram, gimana? Kok diem?"
Bram mengerjapkan kedua matanya, merasa linglung karena lamunannya buyar. Dia sampai harus menatap penuh tanda tanya pada Tania bahwa tidak yakin wanita itu telah melontarkan sesuatu padanya.
"Kenapa, Tan?"
"Aku nanya, kamu mau nggak minggu depan makan malem sama Papi Mamiku?"
Tania mencubit pipi tirus milik Bram dengan gemas. "Aku mau ngenalin kamu sama mereka, Bram. Mereka juga udah nanyain terus. Mau ya?" tanya Tania berharap. Matanya berkaca-kaca seperti puppy dog.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...