◆◆◆
Kututup rapat wajahku dengan bantal, berharap pekikanku tak kan terdengar. Kali ini bukan pekik penuh duka, tapi tanda bahagia. Bukan teriak penuh air mata, tapi senyum merekah segar.
Kamar bercat biruku seakan berubah menjadi taman bunga khas surgawi dalam dongeng masa kecil dulu. Aku terlena oleh buai impian akan dirimu, akan sosokmu.
Cinta kini menghujam jantungku. Menusukku bagai sembilu, tanpa luka, tanpa jejak. Tanpa air mata. Cinta menusuk dadaku. Merekah. Semerbak mewangi. Aku terlena akan buaian cinta.
Mata badammu, iris hitammu, memukauku. Memabukkanku. Membawa hayalku tinggi.
Aku tersenyum. Tertawa. Dalam sunyi kamarku. Dalam hening malam ini.
Kucoba pejamkan mata. Memaksa diri untuk terlelap. Berharap bayang indahmu turut serta dalam mimpiku. Menyangkut dalam anganku.
•••
Pagi seakan tak pernah datang secepat ini sebelumnya. Asa tentangmu masih melekat kuat dalam jiwa. Angan tentangmu masih menari indah dalam bayangan.
Segera kusibak tirai merah muda di jendela besar kamarku. Senyum tak henti kuumbar pada dunia. Bahagiaku masih bergejolak.
"Selamat pagi, dunia. Selamat pagi, mentari. Selamat pagi, pohon. Selamat pagi, burung," ucapku riang menatap jauh ke luar sana.
Ketukan di pintu kamarku berhasil menarik perhatianku. Kutolehkan wajah berseriku.
Seorang wanita paruh baya berdaster merah berdiri tegap memeluk pintu kamarku. Senyumnya seakan pancarkan cahaya. Seperti biasa, cerahkan hariku. Tentramkan hatiku.
"Mandi, nanti terlambat ke toko." Senyum wanita itu masih tersungging dengan indahnya.
Tak perlu berpikir lama, aku berhambur dalam peluknya.
"Iya, Ibu...," rajukku manja.
Ya, dialah ibuku. Satu-satunya ibu di hidupku. Satu-satunya keluarga dalam ingatanku.
•••
Toko tak seramai hari kemarin. Tentu saja, ini hari Jumat. Seperti biasa, toko buku kami selalu sepi entah mengapa.
Bayangmu kembali merayapi kalbuku. Kilas ingatan akan sosokmu hadirkan gemuruh dalam dadaku. Memancing degupan berirama di jantungku.
Resah mulai menggerogoti batin. Aku rindu. Pada sosok yang bahkan tak kutahu siapa. Tentu saja itu kamu. Namun bahkan namamu saja aku tak tahu. Otak dengkulku kini hanya berisi tentangmu.
Kuembuskan napas perlahan. Mencoba menetralkan kembali disko di dadaku. Kupejamkan mataku. Memaksa diri menghapus bayang hadirmu.
Sialnya saat kubuka mata perlahan, wajahmu terekam panca indraku. Kamu berdiri tepat di depanku. Menenteng sebuah buku tebal karya J.K. Rowling.
Aku terpaku. Mulutku menganga dengan refleksnya.
Kau ulas sedikit senyum di wajah memikatmu.
"Kalau Jumat sepi, ya?" tegurmu sambil menaruh buku itu ke meja kasir.
Tanganmu merogoh saku belakang celana denim kumalmu. Mengeluarkan sebuah dompet hitam. Aku masih terpana akan dekatnya jarak antara kita. Hanya meja kasir yang memisahkan dua raga.
Senyummu semakin mengembang.
"Di sini bisa buat kartu member, ya? Gratis?" Iris hitammu menatap tepat pada mataku.
Jantungku berdesir. Ingin hati melompat kegirangan penuh gairah. Jiwa menari bersorak riuh.
Kupaksa kesadaranku untuk kembali seperti semestinya. Kutahan gejolak dalam dada. Senyumku tak tertahan. Kupamerkan senyum terbaikku.
"Iya, gratis. Isi aja formulirnya." Kusodorkan selembar kertas formulir keanggotaan tokoku. "Kalau jadi member dapat diskon sepuluh persen." Kupaksakan nadaku semanis mungkin. Mencoba menyentuh kesan pada hatimu. "Iya, kalau Jumat selalu sepi, entah kenapa."
Tanpa kusadar, formulirmu sudah terisi penuh.
"Aliando Syarief, ya?" tanyaku memastikan namamu.
Senyummu masih seperti sebelumnya.
"Iya, Prilly," jawabmu membuat jantungku berhenti berdetak untuk sesaat.
"Kamu... tahu nama aku?"
Senyummu melebar, pamerkan deretan gigi rapimu.
"Itu." Tunjukmu pada dadaku. "Ada nametag-nya." Kamu pun terkekeh.
Ah, bodohnya aku! Memalukan.
"A... o... oh...." Aku tergagap.
Tanganmu mengulurkan sebuah kartu berwarna metalik.
"Debit, ya."
Kuberikan kantung berisi bukumu. Kukembalikan kartu debitmu dan kartu anggota tokoku usai transaksi. Kamu pun tersenyum sekali lagi, lalu punggungmu tampak menjauh dari pandangku.
•••
Kutatap purnama malam ini. Begitu indah, memukau. Ilusi wajahmu terlihat samar di gelapnya langit malam.
Rembulan menemani sepi malamku, gelora hatiku. Dadaku memanas. Mungkinkah aku terbakar cinta? Tertusuk panah asmara?
Aku mengagumimu dalam jarak antara kita. Aku mengagumimu dalam kesenjangan yang memang ada sejak pertama bertemu. Aku terpesona pada sosokmu. Terhipnotis oleh bayangmu.
Ingin hati berlabuh. Ingin hasrat terjawab. Bisakah? Suara hatiku tak kunjung mendapat balas. Bagaimana bisa balasan kudapat? Cinta saja tak pernah terucap. Nama saja baru terdeklarasi siang tadi.
Bunga rindu bermekaran subur dalam jiwa. Hatiku mengiba, hasrat menyeruak, ingin raga ini berada dalam rengkuhmu. Namun, apa daya, resah menyelimuti kalbu. Ilusi hadirmu, angan tentangmu, semakin menjeratku, erat. Aku terjebak hatimu.
Kudekap kedua kakiku. Wajahku menyelusup di antaranya. Dingin. Sepoi angin berembus mesra. Kurasakan pelukan hening malam. Kunikmati sepi sendiri. Dadaku masih bergelora. Api asmara membakar jiwa. Memeriahkan asa.
Temani aku malam ini, rembulan. Diriku sedang terbakar cinta.
◆◆◆
Songfic Rembulan by Krisdayanti
Event from fwc1112
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Hatiku
Short StoryKutuliskan kisah yang membungakan hatiku, mendebarkan jantungku. Kutuliskan kisah yang menggerayangi pikiranku, merasuk kalbuku. Kutuliskan kisah tentangmu juga aku, tentang dia dan segala hidup ini. Kutuliskan kisah demi menjaga abadinya kenangan...