Bab. 9

4.3K 63 3
                                    

"TIDAK KENAL."

Kontan saja nona berbaju hijau itu tertawa dingin.

"Jarum beracun dari keluarga Lan termashur karena keganasan dan kelihaiannya, kau anggap tabib biasa dapat memberikan pertolongannya? Untung kau berjumpa denganku hari ini..."

Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih, lalu diangsurkan ke depan, sambil katanya:
"Di dalam botol terdapat tiga butir pil penawar, tiap satu jam telanlah sebutir, separuh ditelan separuh dibubuhkan di luka luar, tiga jam kemudian nyawamu akan dapat diselamatkan."

"Di dalam tiga jam tersebut, paling baik kau jangan mengerahkan tenaga dalam. Baik, sekarang kau boleh pergi dari sini."

Setelah menerima botol porselen itu, Wi Tiong Hong segera menjura sambil berkata:
"Budi kebaikan nona yang bersedia menghadiahkan obat penawar kepadaku sungguh membuat aku merasa berterima kasih sekali, entah..."

Sebenarnya dia ingin menanyakan siapa nama orang itu, tapi setelah perkataan tersebut sampai di ujung bibir, dia merasa kurang baik untuk menanyakan nama orang, apalagi di tengah malam buta dan di luar kota yang begini sepi.

Akhirnya dengan wajah memerah karena jengah, dia telan kembali kata-kata selanjutnya yang tak sempat diutarakan.

"Kau tak usah berterima kasih kepadaku," ucap nona berbaju hijau itu hambar, "Aku sendiripun tidak bermaksud untuk menolongmu, aku hanya ingin agar dia tahu jika jarum beracun dari keluarga Lan bukanlah sesuatu senjata yang cukup untuk membuatnya menjadi sombong." Selesai berkata, dia lantas berlalu dari situ dengan gerakan cepat.

Dengan termangu-mangu Wi Tiong hong memegang botol porselen itu sambil mengawasi nona itu berlalu dari sana, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap di balik kegelapan sana.

Mendadak dia teringat akan sesuatu, kalau didengar dari pembicaraan si nona berbaju hijau itu tampaknya dia seperti merasa sangat tidak puas terhadap pemuda berbaju biru itu, tapi agaknya pula di antara mereka berdua sudah saling mengenal cukup rapat.

Sekalipun dia merasa rikuh untuk menanyakan nama si gadis itu, tapi dari pembicaraan si nona dia toh berhasil mengetahui juga asal-usul dari pemuda berbaju biru itu.

Sekarang waktu sudah semakin larut malam dia segera masukkan botol perselen itu ke dalam sakunya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke kota Sang siau.

Ketika tiba dibawah kaki kota, pintu kota sudah lama tertutup, maka diapun mencari suatu tempat yang sepi untuk melompati dinding kota tersebut.

Mendadak dia saksikan kurang lebih tujuh delapan kaki di sampingnya terdapat juga sesosok bayangan manusia sedang melompati dinding kota dengan kecepatan bagaikan kilat, bayangan tersebut sedang bergerak menuju ke arah sebelah timur.

Sungguh hebat sekali ilmu meringankan tubuh orang itu, hanya di dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

Diam- diam Wi Tiong hong mengagumi kelihayan orang itu, pikirnya di hati. "Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, cukup dilihat dari kelihayannya dalam ilmu meringankan badan, dapat diketahui kalau kemampuanku masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan orang itu. . ."

Setelah melompat turun dari dinding kota, buru buru dia berjalan menuju ke arah jalan raya.

Waktu itu suasana di kota masih ramai, batu saja sampai di rumah penginapan Ka cian terlihat olehnya pelayan rumah penginapan yang dikenalnya telah datang menyambut sambil tertawa.

"Kek koan, kau baru sampai?" sapanya, "kamar yang kau tempati tempo hari kebetulan lagi kosong hari ini, silahkan, silahkan."

Ia menghantar Wi Tiong hong menuju ke kamarnya, setelah membukakan pintu, kembali katanya:
"Tampaknya kau sudah bersantap di luar? Hamba akan sediakan air teh untukmu."

Pedang Karat Pena Beraksara - Qin HongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang