Kalau memang dia jodoh saya, meski ke ujung dunia sekalipun, dia pasti akan menemukan keberadaan saya.
-Meidina-
~~~~~
Satu bulan sudah berlalu sejak Alvin pulang ke Padang. Sampai detik ini Alvin belum menemukan sosok perempuan yang dijodohkan dengannya itu. Lebih tepatnya, dia memang belum pernah mencari keberadaan perempuan itu. Bagaimana mau ketemu, mencarinya saja belum. Bagaimana mau mencarinya, memulainya dari mana saja dia tidak tahu. Alvin terlalu dihantui pikiran-pikiran buruk tentang sebuah pernikahan, terlebih lagi perempuan yang dijodohkan dengannya adalah janda.
Pagi ini seperti biasa, diawali dengan Alvin mulai memanaskan motor CBR-nya sebelum digunakan meluncur di aspal menuju kantornya, sambil menunggu Silvia, adik perempuannya, selesai bersiap. Alvin memang ke mana-mana lebih suka naik motor. Sebenarnya dia juga memiliki mobil, tapi jarang ia gunakan ke kantor, hanya digunakan di saat-saat membutuhkan saja. Menurut Alvin, mobil adalah kendaraan paling tidak efektif dan tidak efisien, makan banyak tempat, ribet pokoknya. Setelah mengantar Silvia ke kantor stasiun televisi tempat adiknya itu bekerja, Alvin melajukan kembali motor menuju kantornya sendiri di daerah Kuningan.
Saat jam istirahat, salah satu sahabat Alvin mengungkapkan niatnya yang hendak melamar kekasihnya. Namun tanggapan Alvin biasa saja. Membuat Dastan bingung dengan keanehan sahabatnya.
"Lo kenapa, Al?" tanya Dastan saat menyadari keanehan pada diri Alvin.
Alvin terkesiap. "Nggak kenapa-kenapa. Eh, lo yakin mau melamar Kiara?"
Alvin justru balik bertanya soal pernyataan yang disampaikan Dastan beberapa saat yang lalu dan mencoba mengalihkan pertanyaan Dastan juga pastinya.
"Iya, gue yakin Kiara jodoh gue."
Alvin terbelalak. "Dari mana lo bisa seyakin itu? Lo ketemu aja karena kebetulan kan?"
Dastan mengangguk. "Gue yakin Tuhan nggak pernah menciptakan kebetulan yang sia-sia, gue ketemu dia itu suatu pertanda," jawab Dastan mantap
"Pertanda apa? Pertanda lo makin nggak waras?" celetuk Fandi menanggapi opini yang disampaikan oleh Dastan.
"Eh diem lo, Mukidi!" Dastan memaki Fandi yang selalu tidak bisa serius dalam menanggapi setiap hal.
Dalam hati Alvin bergumam, bahwa apa yang disampaikan oleh sahabatnya itu ada benarnya juga.
Tuhan nggak pernah menciptakan kebetulan yang sia-sia, gue ketemu dia itu suatu pertanda.
Alvin mengulang penggalan kalimat yang diucapkan oleh Dastan beberapa saat yang lalu dalam hatinya. Namun ia tidak bisa menempatkan teori Dastan itu pada kasus yang tengah ia alami. Siapa 'dia' dalam kasus Alvin? Amerasa tidak pernah bertemu orang secara kebetulan, bahkan hingga berkali-kali dalam suatu kebetulan yang dialami seperti sahabatnya.
Halah, kalau jodoh gue, ya kita bakal ketemu. Kalau nggak jodoh, ya bagus deh, nggak perlu ada perjodohan apa pun. Ucap Alvin dalam hatinya sekali lagi.
Alvin sendiri memang enggan menceritakan perihal perjodohan yang membuat pikirannya seperti penuh saat ini, serta kesulitan yang sedang ia alami kepada sahabat-sahabatnya. Seharusnya masalah pencarian itu akan lebih mudah jika dibantu oleh Dastan maupun Fandi, yang notabene memiliki banyak kenalan se-antero Jakarta, tapi Alvin enggan merepotkan sahabat-sahabatnya. Kali ini dia yang akan memikirkan sendiri jalan keluar untuk masalahnya ini.
***
Akhir-akhir ini Meidina sering murung, karena masalah apa lagi kalau bukan memikirkan perjodohan yang tak bisa lagi ia tentang itu. Entah kenapa, orang tuanya kelihatan sudah terlanjur menyukai sosok laki-laki yang hendak dijodohkan padanya, terutama abak-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan (Jodoh Series #2)
Любовные романыAlvino dan Meidina adalah dua orang asing yang tidak pernah memiliki ikatan batin apapun layaknya sepasang kekasih. Mereka hanya dipertemukan dalam suatu perjodohan karena adat. Alvino, seorang pria metropolitan yang bebas dengan segala prinsip...