Pagi ini dunia seakan ingin menelanku. Lututku lemas dan tak bisa menompang tubuhku sendiri membuat ku terduduk di salah satu bangku di bandara dengan wajah yang menyedihkan dan putus asa. Aku sudah sekitar setengah jam ada di bandara sepeninggal rombonganku kembali ke Indonesia.
Kenapa Tuhan menghukumku untuk hal yang tak pernah aku lakukan, bahkan aku tak pernah menyakiti Bryan , aku tak memanfaatkannya juga. Teman-temanku yang memanfaatkannya. Apa ini berimbas padaku?
Aku menyadari jika semenjak tadi pagi Bryan tak menamapkan batang hidungnya. Bahkan ia seolah menghilang dari hadapanku. Mungkinkah ia lari tak ingin tau masalahku. Baiklah aku anggap saja seperti itu, karena sejak awal aku paham benar tentang sifat buruknya. Kutepis segala pikiran ku tentang Bryan cepat-cepat, aku masih menggenggam kartu berisikan alamat penginapan yang sempat pak Andika berikan padaku. Dengan ragu-ragu aku beranjak meninggalkan Bandara.Beberapa menit kemudian sebuah taksi melesat kearahku , aku lantas membuka pintu dan memasukinya. Bahkan aku sadar jika selama di Seoul nanti aku hanya akan mengendarai taksi, aku tak sempat membuat T-money untuk bus umum. Kurasa aku lebih baik jalan kaki nanti, itu akan menghemat pengeluaranku.
"Kemana kita akan pergi agassi?" Tanya supir taksi yang bahkan tak mengira jika aku bukan penduduk negara ini.
"Aku lapar ahjussi, bawa aku ke Myeongdong." Jawab ku dengan nada yang sedikit lambat karena aku belum begitu faseh mengucap bahasa korea dengan cepat. Bahkan jika mendengar orang berbicara bahasa korea dengan cepat, aku tak bisa menangkap dengan benar artinya.
Terlepas dari hal itu aku meminta paman taksi mengantarkku ke Myeondong. Aku tak ingin berbelanja, namun karena di Myeongdong tempat yang aku tahu dan cukup murah maka kurasa aku harus makan terlebih dahulu di tempat ituDalam perjalanan aku memandang ke luar taksi. Bangunan -bangunan terlintas di samping kanan dan kiriku. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan berlomba lomba untuk membelah hamparan awan diatas sana. Cuaca yang sedikit terik dengan angin yang sedikit kencang, dan aroma khas musim gugur akhir taun begitu terasa.
Aku mulai kembali merenung, aku tahu Seoul sejak awal tak menyuguhkan ku kesenangan. Itu hanya manipulasi sugesti ku saja. Nyatanya sekarang, ditempat ini aku harus merelakan untuk tinggal sendiri dan hanya sendiri menunggu kabar dari negri nan jauh disana. Tak ada yang aku kenal, aku belum pernah tinggal di luar negri sendirian , dan dengan situasi seperti ini. Aku mendongak mencoba menahan air mata ku untuk tak menetes. Jujur , aku sangat takut. Sendirian di negeri orang, mencoba bertahan sampai kabar tiba. Aku bagai diasingkan. Entah copet mana yang berbuat tega pada ku seperti ini , aku tak akan pernah memaafkannya. Lagipula apa untungnya mengambil paspor visa dan ticket ku?Taksi berhenti perlahan dibahu jalanan yang cukup ramai dengan orang berlalu lalang. Ku ulungkan bebrapa lembar uang membayar taksi tersebut. Ku lihat kesekitar seraya menahan lapar , parutku sudah meronta minta diisi namun aku tidak menemukan tempat yang kurasa cukup kenyang untukku makan. Apa belum ada penjual pinggir jalan yang buka siang ini? Sepertinya iya. Aku kembali menarik koperku menyusuri deretan ruko dan toko di Myeongdong. Sampai akhirnya aku berhenti pada sebuah tempat,lebih tepatnya restaurant sederhana yang spertinya menyuguhkan makanan yang akan membuatku kenyang. Entah aku tak mengerti kenapa aku bisa menghardik tempat ini akan memberiku kekenyangan , hanya saja dengan melihat papan tulis yang bertuliskan Gimbap spesial hanya 800 won membuat ku tergiur memasuki tempat itu. Yang aku tahu gimbap adalah makanan yang tak jauh jauh dari nasi. Dan nasi adalah hal yang membuat perutku kenyang lebih lama, terlebih harganya pun tidak seperti Gimbap biasanya yang standarnya adalah 1000 won.
Tak perlu berpikir lama, aku memasuki kedai tersebut. Baru saja ku langkahakan kaki mengedarkan pandangan mencari kursi yang kosong, aroma khas yang hangat menusuk kehidungku. Membuatku tak henti-hentinya mengendus seraya tesenyum puas. Aku lalu melesat menuju kursi yang tak jauh dari dinding kaca penghalang ditempat ini. Seseorang mengampiri ku , menanyakan menu apa yang ku pesan.
Aku membaca seluruh daftar menu yang kini ada didepanku. Kutulis dengan mantap semua yang ingin kusantap saat ini juga. Aku tau, perutku benar-benar sudah kosong.
Hanya butuh waktu kurang dari 15 menit. Menu yang kupesan pun datang, aku menyantap nya dengan anarkis tak peduli pada pasang maata yang menatapku heran persetan dengan itu semua. Aku bukan penduduk negri ini jadi aku tak perlu menyembunyikan wajahku. Yang aku tahu, aku tak pernah bercanda dengan urusan perut.