Dari atas langit malam, oleh bintang-bintang yg memandang sambil menebar senyuman tersipu malu, dan bulan yang sedang menarik paksa awan malam untuk menutupi wajahnya, lalu malam akan menjadi gelap. Maka tampak segumpalan api dari obor di bawa lari, berlari menyusuri lorong-lorong menggantikan tugas bulan malam ini untuk cahaya yang menemani kehidupan bumi. Di sana, di lorong-lorong itu, pada sayup-sayup cahaya obor di terpa angin malam dengan kesejukkan lembah di kaki sekeluarga gunung Lewo Tobi, dapat di pastikan itu adalah obor yang di genggaman tangan kiri seorang anak laki-laki dan jari-jari tangan kanannya di selip erat di antara kelima jari tangan kiri sesosok lagi. Mungkin yang di gandeng erat jari-jari tangan kanan lelaki itu adalah tangan kiri sosok perempuan. Itu dapat di pastikan karena dari biasan cahaya obor terlihat berhelai-helai rambut panjang sedang berayun seirama langkah kaki dalam larian mereka. Dua pasang kaki ini menggambar cepat telapak sendal mereka pada debu-debu di sepanjang lorong dan sepertinya mereka di buru waktu.
"Percepatkan langkah! Bagaimana jika ayah dan ibumu segera tiba di rumahmu?"
"Tidak. Kita masih punya banyak waktu. Sekarang kira-kira pukul 07.00. Itu artinya kita masih punya waktu kira-kira 6 jam dari sekarang." Jawab wanita itu.
Lanjut ucap lelaki, " apa benar pada semua perkiraanmu?"
"Iya benar. Tadi sebelum berangkat dari rumah, aku menguping pembicaraan kedua orangtuaku bahwa mereka akan pulang selarut itu. Lalu aku menatap jam dindingku yang menujukan pukul 06.30."
"Baguslah."
"Lihat! Itu rumah Tuhan." Sambil wanita itu menatap gedung yang tertancap salib di atap depan. Lanjut kata wanita lagi , "Tapi, apa pintunya di kunci sama petugas?"
"Aku akan coba. Kamu peganglah obor ini dan arahkan cahaya ke pintu agar aku bisa melihat!" Jawab lelaki itu dan mendekati pintu rumah Tuhan. Tak lama dia kembali menatap wanita itu dan membuat gerakan tangan yang berarti menyuruh wanita itu agar segera mendekatinya. Wanita itupun segera mendekatinya sambil memberi jempol dan mereka bersama-sama melontarkan senyuman.
"Masuklah!" Kata lelaki itu.
Dalam langkah mereka yang di buat berlahan-lahan menyusuri deretan bangku-bangku di dalam ruangan itu, "aku takut. Di sini sangat sunyi. Hanya ada suara sandal dan nafas kita." Kata wanita.
"Ah. Tak mengapa. Ini rumah Tuhan. Masihkah bimbang imanmu?"
Mendengar ucap lelaki itu, si wanita hanya terdiam.
"Berikan obornya! Aku akan menyalakan lilin-lilin agar kamu tak lagi takut." Sambil lelaki itu menyalakan lilin-lilin di altar, dan sepanjang dinding-dinding dalam ruangan. Lanjut katanya, "masih takutkah kamu dalam rumah Tuhan?"
Wanita itu hanya mampu mengangkat alis mata dan menarik pipi kiri hingga membentuk sebuah palung yang dalam pada pipinya.
"Segeralah kita melakukan!"