#01

72 29 27
                                    

Laki-laki itu membuka matanya ketika merasakan sesuatu menghantam kepalanya, membangunkannya dari mimpi buruk yang selama ini selalu menghantui. Tanpa sadar, ia mengumpat pelan. Tangannya mengusap puncak kepalanya.

"Daffa!" seorang wanita menyebut namanya dengan penuh peringatan. "Tidur lagi, tidur lagi. Nggak kapok-kapok, ya kamu dihukum di pelajaran saya!"

Daffa mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian, menyangga kepala dengan tangannya, seolah tidak peduli dengan ucapan wanita yang merupakan gurunya itu.

Bu Nia mendesah pelan. Ia menggebrak meja Daffa beberapa kali, berusaha menarik perhatian laki-laki itu. Tapi sayangnya, ia hanya melirik Bu Nia dengan mata tajam berwarna biru miliknya.

"Berisik," gumam Daffa pelan. Ia menurunkan pandangannya dan menatap papan tulis tanpa peduli.

Bu Nia menggeram kesal. Ia menatap Daffa menyalang. "Keluar kamu dari kelas saya! Sekarang!" Batas kesabaran Bu Nia sudah habis rupanya.

Sementara Daffa hanya berdecih pelan, kemudian bangkit dan berjalan keluar kelas. Tidak sedikitpun peduli dengan bisikan teman-teman sekelasnya. Bahkan, dengan cepat, ia menggunakan headphone yang tersampir di lehernya.

---

Suasana kelas yang awalnya sedikit ramai mendadak hening saat Bu Nia berhenti menjelaskan. Tatapan wanita berusia 45 tahun itu menajam, menatap seorang laki-laki yang tertidur di bangkunya.

Deeva menolehkan kepalanya, menatap Bu Nia yang sudah siap melemparkan spidol hitamnya ke arah laki-laki itu.

Satu... dua... tiga...

Dan dengan sekali lemparan, spidol milik Bu Nia sudah mengenai kepala laki-laki itu. Membuatnya mengangkat kepala dengan umpatan-umpatan yang keluar dari mulutnya.

"Daffa!" Bu Nia menyebut nama laki-laki itu penuh peringatan.

Deeva memutar bola matanya bosan. Lagi-lagi seperti ini. Berkali-kali ia melihat Daffa tidak peduli dengan ucapan-ucapan gurunya.Berkali-kali juga ia melihat laki-laki dingin itu dikeluarkan dari kelas. Seolah, peringatan-peringatan itu hanyalah angin lalu untuk Daffa.

Deeva memang tidak tahu apa yang membuat Daffa menjadi seperti itu. Tapi, ia yakin Daffa memiliki alasan tersendiri.

"Ekhem."

Deeva mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengar suara deheman itu. Kepalanya sontak menoleh ke asal suara. Ia menatap Natta, perempuan yang merupakan sahabatnya.

"Mikirin dia lagi?" tanya Natta yang berada tepat di sebelah Deeva.

Deeva melempar pandangannya ke sekitar. Menarik napas panjang, ia menggeleng dan menjawab, "enggak."

Natta menatap Deeva tak percaya. Tapi, sesaat kemudian, ia menghela napas pelan dan kembali memperhatikan Bu Nia.

Sementara Deeva menolehkan kepalanya ke jendela yang langsung mengarah ke koridor. Matanya menangkap sosok Daffa yang sedang berdiri, bersandar di dinding. Kedua mata Daffa menerawang. Tapi tetap saja, Deeva tenggelam ke dalam keindahannya.

---

Bel berbunyi nyaring, menyadarkan Daffa dari lamunannya. Ia melepaskan headphone dari telinganya, kemudian menelungkupkan kepalanya di atas meja kantin.

Tak berapa lama, dua orang laki-laki berjalan menghampiri Daffa, lalu duduk di sebelahnya dan menepuk puncak kepala Daffa pelan.

"Dasar," gumam salah satu di antaranya. "Dikeluarin lagi, dikeluarin lagi." Ia menggelengkan kepalanya perlahan dan berdecak beberapa kali. Ia Kaizen. Dan seorang lagi, Chiko. Mereka bertiga sudah bersahabat sejak masih di taman kanak-kanak. Dan hal itu membuat mereka berdua mengetahui apa alasannya Daffa bisa sedingin ini.

Daffa memiringkan kepalanya, menatap Kaizen yang juga sedang menatapnya. Sejenak, mereka bertatapan. Tapi sesaat kemudian, keduanya meringis geli.

"Anjir, gue merinding pas lo tatap kayak begitu," ringis Daffa pelan. Ia mengangkat kepalanya kemudian tersenyum tipis, hal yang sangat jarang untuk ia lakukan di hadapan publik. Tentu saja ia pernah beberapa kali ia tersenyum, tapi hanya di depan kedua sahabatnya itu. "Makan, yuk." Daffa bangkit, hendak menghampiri salah satu penjual makanan. Namun sayang, Chiko menahannya.

"Kerjaan lo makan terus," ujar Chiko seraya meletakkan buku yang sedari tadi dibawanya ke atas meja. Dan ia pun mulai membuka buku itu secara acak. "Mending ajarin gue fisika dulu. Abis ini gue ada ulangan, nih."

Daffa memutar bola matanya sesaat sebelum akhirnya kembali duduk di bangku kantin. Ia menarik buku yang ada di hadapan Chiko. "Yang mana?"

Chiko tersenyum lebar dan menunjuk salah satu subbab yang terpampang di bukunya. "Nih, yang ini." Dan Daffa hanya mengembuskan napasnya lesu. Lagi-lagi, kegiatan makannya hari ini terganggu.

---

Sebenarnya, memperhatikan orang lain bukanlah hal yang biasanya Deeva lakukan. Tapi, kali ini berbeda. Mau berapa kali pun Deeva mengalihkan pandangannya, tetap saja seperti ada magnet kuat yang membuatnya kembali menatap ke arah laki-laki itu.

"Deev?" panggil Natta sekali lagi. Tangannya terkibas di depan wajah Deeva dan membuat perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali, tersadar dari lamunannya. "Lo mikirin apa, sih?"

Deeva menatap Natta sesaat. Ia menggeleng perlahan dan menjawab, "nggak mikirin apa-apa, kok." Dan kemudian ia tersenyum tipis untuk menambah kesan meyakinkan.

Natta menatap Deeva tak percaya. Jarang-jarang ia mendapati sahabatnya itu termenung. "Serius?" tanya Natta . Tapi, tetap saja ia mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang membuat Deeva menjadi seperti ini. Dan kegiatannya berhenti saat melihat laki-laki yang duduk tak jauh darinya sedang mengobrol dengan kedua sahabatnya.

Tanpa diberitahu, Natta pun mengerti. Ia tersenyum penuh arti ke arah Deeva dan lagi-lagi, ia bertanya, "lo lagi ngeliatin Daffa 'kan?"

Mendengar pertanyaan Natta membuat Deeva terhenyak. Ia melempar pandangannya ke sekitar, kebiasannya jika sedang gugup. "Apaan, sih?" balasnya. Ia memainkan ujung dasinya. Pertanyaan Natta memang sering membuatnya gugup. Apalagi jika sudah menyangkut masalah Daffa.

Entah sejak kapan Deeva senang memperhatikan laki-laki yang terkenal dengan matanya yang berwarna biru itu. Yang pasti, ia dapat merasakan kesedihan yang mendalam di balik sikapnya yang terlampau dingin itu.

"Lo suka sama dia, ya?" tanya Natta dengan senyum menggoda yang tersampir di bibirnya. "Nggak pa-pa, sih. Secara, dia 'kan ganteng. Udah gitu, pinter lagi. Yah, walaupun dia kayak nggak tersentuh gitu, sih."

"Yah, enggak, sih. Gue nggak suka sama dia," jawab Deeva pelan. Tapi, matanya tetap menatap Daffa. Dan saat melihatnya tersenyum, Deeva merasa dirinya terjatuh. Pandangannya terkunci, tidak bisa dialihkan sedikit pun.

Senyum itu.

Deeva tidak menyangka senyum itu ternyata sehangat matahari pagi ini. Sampai-sampai, Deeva bisa merasakan kehangatan itu di hatinya. Walaupun ia tahu, senyum hangat itu bukan untuknya.

---

Bel pulang sekolah berbunyi tiga kali. Diikuti oleh sorakan penuh kelegaan di jam 4 sore ini. Pulang sekolah memang menyenangkan. Apalagi setelah seharian ini berkutat dengan berbagai macam pelajaran. Belum lagi tugas-tugas yang terus mengalir.

Tapi, tidak untuk Daffa. Pulang sekolah bagaikan bencana untuknya.

Memang aneh di saat murid lain menunggu waktu pulang sekolah, dan Daffa berharap waktu melambat. Bukannya apa. Tapi, rumah yang ia sebut rumah itu, sudah tidak bermakna apa-apa lagi. Ia sudah tidak punya tempat untuk kembali. Dan sampai saat ini, Daffa tidak tahu, apa suatu hari nanti ia bisa menemukan tempat untuk pulang, atau tidak sama sekali.

---

Gue gak tau ada typo ada enggak ._. Ini pertama kalinya gue nulis, dan gue amat sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun buat gue---selain vote pastinya muehe.

Senyum dari gue, buat siapapun yang udah bersedia baca cerita abal gue :)

FlippedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang