Jodoh, takkan datang cepat walau sesaat, takkan datang lewat walau semenit, bersabarlah wahai hati
~~~~~
Setelah malam maminang, keesokan harinya, Alvin menjalankan kelanjutan adat lain menjelang pernikahannya. Ia menjalankan budaya mahanta yaitu meminta izin. Calon mempelai pria mengabarkan dan memohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakak yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Kali ini Alvin hanya didampingi oleh Fahmi dan mak oncu saja. Alvin sudah mulai lelah menjalani serangkaian adat ini. Padahal ini masih belum sampai pada acara pentingnya. Ikhlas, cuma itu yang bisa Alvin perbuat, agar semuanya diringankan dan tak menjadi beban sedikit pun di hatinya.
"Calon marapulai lah mau balik ke Jakarta ini?"
Fahmi menghampiri kamar Alvin. Saat ini dia sedang membereskan bawaannya ke dalam ransel hitam berukuran tidak terlalu besar. Alvin selalu begitu, jika ke mana-mana lebih suka memanggul ransel ketimbang mendorong travel bag.
Alvin tertawa kecil kemudian me jawab, "iyo, Da. Indak biso lamo. Karajo alah taragak, mananti dipeluk manjo."
Fahmi terbahak mendengar jawab asal dari Alvin. "Karajo apo padusi?" tanya Fahmi iseng.
Gantian, kini Alvin yang tertawa. "Karajo lah, Da. Ma bisa mancaliak padusi, beko Sutan Razak berang."
"Biso sae ang, Vin,"
Alvin selesai mengemas barang-barangnya. Lalu memanggul tas ransel yang sudah siap itu di bahunya.
"Oleh-oleh untuk Via, jo kawan-kawan Vino di Jakarta."
Di pintu depan, etek menyerahkan satu kantong plastik besar berwarna merah berisi oleh-oleh entah apa saja itu isinya, Alvin tidak sempat memeriksa. Biasanya tidak jauh dari keripik balado, karupuak sanjai, karupuak jangek, karak kaliang, keripik pisang coklat, dan juga rendang. Alvin hanya menerima dan tak lupa berucap terima kasih, lalu berpamitan kepada sanak saudara yang mengantarnya hingga pintu depan. Fahmi yang akan mengantar Alvin ke terminal dengan sepeda motor matic.
***
Seminggu setelah kepulangannya dari Padang, Alvin sudah tidak pernah sekalipun menghubungi Meidina lagi. Alvin masih kesal setengah mati pada perempuan itu, mengingat Meidina yang tak hadir saat acara pertunangan mereka. Sampai di titik ini Alvin kembali merasa seperti sedang dipermainkan oleh nasib. Sang Kuasa seolah sedang senang membolak-balikkan hatinya. Sudah kepalang tanggung, dia sudah tidak berdaya lagi untuk lari dari semua yang harus digariskan oleh Takdir. Dia menjalani saja suratan takdirnya ini, sebagai lelaki Minang yang harus taat pada adat.
Keluarga Meidina sudah melamarnya. Uang penjemputan sudah diterima. Hari pernikahan sudah ditetapkan. Lebih baik kini yang ia pikirkan adalah bagaimana menghadapi kehidupannya nanti bersama Meidina. Sempat terlintas di benak Alvin, apa dia bisa menjalani hidup serumah dengan orang asing, berbagi ranjang, berbagi hati, berbagi rasa, berbagi masalah. Ah, tidak pernah terpikir sedikit pun di benak Alvin, ia akan menjalani itu semua dalam waktu dekat. Alvin dulu pernah memperkirakan, dia akan menikah di usianya yang ke 33 tahun atau setidaknya setelah melihat Silvia menikah dan hidup bahagia dengan suami pilihan adiknya itu. Pikiran Alvin sekarang juga semakin terbebani memikirkan adik semata wayangnya itu. Jika dia menikah duluan, bagaimana Silvia nanti? Apa bisa Meidina juga menyayangi adiknya itu seperti ia menyayangi adiknya sendiri? Apalagi Meidina anak tunggal yang terbiasa hidup sendiri. Orang tuanya juga orang berada, apa bisa dia mengikuti gaya hidup Alvin yang cenderung sederhana dan tidak neko-neko? Apa Meidina bisa menerima masa lalu Alvin yang buruk?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan (Jodoh Series #2)
RomanceAlvino dan Meidina adalah dua orang asing yang tidak pernah memiliki ikatan batin apapun layaknya sepasang kekasih. Mereka hanya dipertemukan dalam suatu perjodohan karena adat. Alvino, seorang pria metropolitan yang bebas dengan segala prinsip...