Sang Pemilik Taman

16 1 0
                                    

Ada sebuah taman yang terletak di hutan tropis. Hutan itu seperti surga. Berpayung rimbun dedaunan aneka pohon rimba tropis. Para penghuni taman itu menamai tempat itu dengan Taman Semesta.

Rintik-rintik hujan jatuh di permukaan tanah. Jatuhnya semakin rekat merapat. Hujan makin lebat. Seluruh warga Taman Semesta yang tadinya berkumpul segera pulang ke sarang masing-masing. Anak-anak kelinci sebetulnya senang. Mereka ingin mandi diguyur hujan sambil main bersama. Namun induk mereka segera menggiring mereka ke sarang.

Begitu pun kawanan burung murai, rusa, orang utan dan hewan-hewan lainnya ingin mandi air hujan. Mereka ingin merasakan hujan yang pertama kali turun setelah sekian lama mereka hidup dalam suasana kemarau.

Namun Singa memerintahkan agar semuanya tidak main air hujan. Singa mengeluarkan perintah itu agar dapat dipastikan semua warga Taman Semesta itu tetap sehat. Akhirnya, mereka hanya bisa menyaksikan hujan deras itu mengguyur Taman Semesta yang sudah lama gersang. Dengan takjub, mereka menengadahkan pandangan ke langit yang mengucurkan hujan deras. Langit tampak kelam. Mereka saling bertanya karena keheranan.

"Air yang melimpah ini dari mana ya?" tanya seekor kelinci.

"Iya, dari mana ya? Bukannya di langit tidak ada air?" timpal seekor rusa.

Warga Taman Semesta sebetulnya paham bahwa hujan itu bukan turun dari langit. Air hujan memang berasal dari air di bumi, baik dari air sungai dan laut yang menguap. Uap itu kemudian menjadi awan. Lama kelamaan awan itu menjadi jenuh dan akhirnya turun lagi ke bumi menjadi hujan.

Langit kembali terang. Taman Semesta kini terlihat lebih segar. Rusa, Orang utan, Kelinci, dan sekawanan burung kembali beraksi. Mereka berkumpul di tengah taman.

"Lihat!" seru seekor kelinci. Salah satu tangannya menunjuk ke ufuk langit selatan. Tepat di atas air terjun, terlihat lukisan alam yang begitu menakjubkan.

"Wauuuw. Aku ingin naik ke sana, ayo teman-teman!" ajak si burung sambil terbang menghampiri pelangi. Di belakangnya, teman-temannya mengikuti secara bergerombol.

"Aku ingin sekali ke sana. Tapi aku tak punya sayap," sesal si Kelinci.

"Kita bisa lihat dari tepi sungai saja. Ayo kita ke sana," ajak Orang utan.

Mereka segera menghambur menuju tepi sungai. Namun baru satu langkah, langkah kedua tidak bisa mereka lanjutkan.

"Stop! Kalian tidak bisa pergi ke sana," teriak Singa.

Kelinci terlihat ketakutan. Kakinya gemetar. Begitu pun Rusa. Dia terlihat gemetar. Hanya saja, raut wajah rusa tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Namun berbeda dengan Orang utan. Dia tak gentar dengan larangan Singa. Orang utan itu menyeringai kesal.

"Kamu memang raja, tapi tidak bisa berlaku sesukamu pada kami," kata Orang utan, geram.

"Kalian tidak bisa pergi kemanapun tanpa seizinku. Karena ini wilayah kekuasaanku," ucap Singa. Para pengawalnya terlihat membusungkan dada sambil mengiyakan perkataan Singa.

"Lalu kenapa kami, tidak boleh menyaksikan pelangi?" desak Orang utan.

"Pokoknya tidak boleh. Titik!" teriak Singa.

"Kamu tidak bisa otoriter seperti itu, Raja. Memangnya pelangi itu milik kamu?"

"Tentu saja. Pelangi itu adalah milikku."

"Kalau benar milikmu. Berarti kamu bisa menciptakan pelangi lebih dari satu. Kalau begitu tunjukkan pada kami pelangi ciptaanmu yang lain!"

"Kamu memang lancang. Banyak melawan. Sudahlah," Raja Singa pergi dari hadapan mereka.

Sang Pemilik TamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang