7. Cute Bad Boy

107 12 3
                                    


-Harry's POV-

"Ah, akhirnya kau berhasil menemukannya?" Tanya Ale tanpa menatapku disaat Mrs. Wilder menulis sesuatu di papan tulis tentang Shakespeare atau semacamnya. Aku tidak memerhatikannya, karena yang kulakukan hanyalah menulis atau menggambar apapun pada bukuku.

Selain world economy, aku juga tidak begitu menyukai pelajaran literatur. Bagiku keduanya sama saja. Membosankan.

"Menemukan apa?" Gumamku masih terfokus pada bukuku.

"Rumah Ravhel, idiot."

Aku berhenti bergerak.

Menolehkan wajah pada Ale, alisku menaut dalam. "Dari mana kau tahu jika...," aku bersumpah, aku belum memberi tahu siapapun mengenai itu. Niall, Alex ataupun gigolo sialan yang sedang duduk di sampingku ini.

Aku memang menemukan rumahnya kemarin, tapi aku belum memberi tahu siapapun. Karena jika aku memberi tahu mereka, aku akan kembali mengingat kejadian dimana wanita Spanyol sinting itu memukulku. Perlu diketahui saja, rasanya sangat mengesalkan dan entahlah... memalukan setelah mengingatnya kembali.

Rasanya aku seperti sudah dizolimi. Berlebihan, aku tahu. Tapi itulah yang kurasakan.

Aku tidak pernah mendapatkan pukulan dari seorang wanita kecuali ibu, Gemma dan nenek.

Dan mana mungkin juga Ale mengetahuinya dari Ravhel. Kemarin Ravhel tidak masuk sekolah. Lagi.

Kali ini aku mengerti apa alasannya. Mungkin ia hanya tidak mau seisi sekolah melihat lebam di pipinya.

Ale menyondongkan tubuhnya ke arahku. Membisikkan kata-katanya dengan suara rendah. "Kau tahu kenapa aku bisa mengetahuinya," setelah ia kembali pada posisi duduk semula, aku bisa melihat bibirnya tersungging senyum miring.

Terkadang aku berpikir jika Ale ataupun Alex adalah seorang cenayang. Kemampuannya dalam mengetahui hal sekecil apapun di sekelilingnya membuatku merasa ngeri.

"Hmm, terserah," gumamku akhirnya. Kembali pada kesibukkanku sendiri. Jujur saja, sebenarnya aku tidak tahu bagaimana Ale bisa mengetahuinya.

Tidak pernah tahu.

Tapi seperti biasa, aku akan mengacuhkannya. Karena aku yakin, gigolo ini tidak akan memberi tahuku.

"Jangan tersinggung, tapi kupikir kau akan berhasil menemukan rumahnya setelah dua bulan atau lebih," gumamnya lagi yang membuatku kembali berhenti.

Dua bulan atau lebih? Dia meremehkanku? Aku kembali menatapnya, kini dengan tatapan tajam. If looks could kill.

Ale menatap wajahku dengan pandangan malas. "Hei, aku bilang jangan tersinggung,"

Aku memutar bola mataku.

Dia terkekeh pelan. "Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini kau jadi selebriti,"

"Kau sudah tahu, aku memang selebriti sekolah,"

"Yeah, dengan reputasi burukmu. Namun kulihat sekarang berbeda,"

Aku mendengus pelan. "Berbeda bagaimana maksudnya? Apa mereka sekarang berpikir jika aku ini gigolo sepertimu?"

"Meh, sayangnya bukan itu," ia bersandar pada kursi sembari melipat tangannya di depan dada. Menatap kedepan dengan senyum miringnya walaupun aku tahu ia tidak berusaha untuk memerhatikan pelajaran. "Sepertinya asik jika aku bisa bercerita bahwa aku sering berbagi gadis denganmu."

Aku mengernyit jijik. "Jika aku gigolo sepertimu, aku tidak akan pernah mau berbagi gadis denganmu. Itu sama saja seperti aku sedang menggaulimu. Eugh."

Kismet | H.S.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang