Deru mesin terngiang di telingaku. Meski mobil rongsok itu sudah lama berlalu pergi. Aku masih saja berdiri di sini, di sisi jalan sepi. Menatap penuh harap pada jalanan kosong.
Sudah enam bulan sejak perjumpaan tanpa sapa itu. Kamu melangkah gagah dengan seragam loreng kebanggaanmu. Aku hanya terpaku memandangi setiap langkahmu. Mengagumi setiap jengkal dari tubuhmu.
Topi baret menutupi kepalamu. Rambut berponi yang kamu andalkan, saat itu habis tak bersisa. Senyummu mengembang, merekah, penuh asa, juga angan. Ibumu memelukmu erat. Membelai lembut wajah anak tampan kesayangannya. Anak lelaki satu-satunya dalam hidupnya.
Kamu pun melangkah pergi, bersama harapan. Menaiki sebuah jeep tua rongsok kebanggaan bapakmu. Tangan ibumu melambai haru, melepas bayangmu yang memudar termakan jarak. Butiran embun menggenang di pelupuk matanya, melukiskan pilu yang mendalam.
Itu, enam bulan lalu. Tiga minggu setelahnya tak ada lagi kabar darimu. Ibumu yang menua, lelah termakan usia. Namun, harapnya masih bergantung padamu. Anak kebanggaannya.
"Akang kasep tos uih?" tanya ibumu lirih kala itu. Jemarinya menggenggam lemah lenganku.
Aku hanya menggeleng. Menahan air mata agar tak melukiskan kepedihan. Senyum kaku kuukir di wajah kusamku. Ku kecup lembut kening berkerut ibumu. Kusisir rambut memutihnya dengan jemari kurusku.
Aku lalu beranjak, meninggalkan ibumu sesaat. Kutumpahkan air mata yang tertahan. Kupukul dadaku berulang kali. Berharap pilu yang menggerayangi hati dapat segera merayap pergi.
Aku terisak. Aku memaki. Kuhujat takdir Tuhan yang merusak bahagiaku. Kuhujat garis nasib yang memisahkan ibumu dari putra semata wayangnya. Aku benci waktu yang berlalu. Aku benci jarak yang terlampau jauh.
Kupekikkan pilu yang menyayat. Aku meratap. Membenci Tuhanku.
Orang berdatangan berdesas-desus. Cibiran kadang terdengar sayup. Rasa iba lebih kuat terasa.
Kupandangi mereka yang berkumpul. Kutatap mata mereka penuh penghakiman.
"Apa?!" pekikku nyaring. "Pergi kalian! Pergi!" Kuusir mereka dengan sapu lidi yang tergeletak.
Piluku bukan tontonan. Hidupku tak perlu belas kasihan. Aku terjatuh. Kembali meringkuk bersama air mata yang tercurah.
Sesosok tubuh gempal memelukku penuh kehangatan. Dikecupnya ubunku. Dibawanya aku jauh dalam dekapnya.
Tanpa kata, tapi terasa beribu makna. Seakan Tuhan sedang menjawab segala doa. Bebanku seperti terbagi. Kutumpahkan segala rasa di hati. Kulampiaskan lewat tangisan yang memuncak.
Tubuh gempal itu tak bergeming. Setia mendengar isakku. Setia menemani erangan piluku.
Seminggu berlalu, aku harus melepas ibumu pergi menuju rumah abadinya. Luka yang menyayat terasa begitu mematikan. Aku nyaris hilang akal. Tak tahu arah tujuan. Air mata bahkan tak sanggup lagi utarakan rasa.
Aku meraung. Terseok memeluk nisan yang berdiri kokoh. Terukir jelas nama ibumu. Kukecup berulang kali papan kayu bercat putih itu bersama air mata yang tak henti mengalir.
Ibumu pergi, tanpa tahu kabarmu di perantauan. Ibumu pergi, dengan segenap rindu yang menyesakkan dada. Ibumu pergi, bersama separuh hati yang kumiliki.
Aku mengurung diri. Menjauh dari bisingnya dunia. Menghindari tatapan pendosa bermuka dua.
Dua bulan yang lalu, kawanmu datang, bersama sebuah paket. Sebuah ponsel, barang mewah yang bahkan bermimpi untuk memilikinya pun, aku tak mampu. Sepucuk surat turut serta, kamu bilang akan segera pulang. Kamu bilang, kamu rindu ibumu, juga aku. Kamu bilang, kamu akan bermain sebentar sebelum kembali ke rumah reyot ini.
Di hari kepulanganmu, kabar memilukan tersiar. Tsunami terjadi di Pangandaran. Tak begitu jauh dari kampung kelahiranmu, kampung tempatku berada. Kamu, menghilang bersama arus laut yang menerjang.
Tak kudapat kepastian hidup matimu. Aku hancur berkeping. Aku kini seorang diri. Benar-benar seorang diri. Aku meratap merajut sepi. Aku gila, termakan rindu.
Teringat kembali senyum merekah wanita tua yang melepas kepergianmu bersama jeep tua milik bapak. Dia, ibumu, ibuku, ibu kita. Aku merindukan belaiannya. Aku mensyukuri kepergiannya. Aku hancur tanpanya, tapi bagaimana dia tanpamu?
Dia pergi dengan harapan kamu bahagia, Akang. Bagaimana kini aku, yang menetap tanpa tahu hidup matimu?
Kutabur melati putih setiap pagi di makam ibu dan bapak yang berdampingan. Kuharap mereka damai di dalam sana. Kuharap aku tak harus memandang namamu turut terukir di kayu bercat putih itu.
Aku masih menaruh harap, Akang. Aku masih menunggu kepulanganmu seperti janjiku dulu. Aku masih berdiri mematung menanti deru mobil rongsok kesayangan bapak.
Aku masih di sini. Merajut sepi bersama asa. Aku masih di sini. Menunggu kepulangan kakak semata wayang.
◆◆◆
Event from BrightlyWR
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Hatiku
Short StoryKutuliskan kisah yang membungakan hatiku, mendebarkan jantungku. Kutuliskan kisah yang menggerayangi pikiranku, merasuk kalbuku. Kutuliskan kisah tentangmu juga aku, tentang dia dan segala hidup ini. Kutuliskan kisah demi menjaga abadinya kenangan...