O2; The Reason's Enough, Baby

1K 148 94
                                    

"Ngapain?"

"Gue mau ngomong sesuatu."

Ah, Yuna hampir saja lupa. Hari ini kan, sudah genap seminggu sejak janji Seokmin. Setelah segala kekacauan tadi, Yuna sama sekali tidak memikirikan janji itu barang secuil pun. Baginya, masa depan temannya yang satu ini lebih penting.

Di belakang gedung olahraga, ada tumpukan kursi-kursi penonton yang rusak dan tidak terpakai. Seokmin menarik Yuna untuk duduk disebelahnya pada satu bangku panjang penuh coretan type-x. Tangan gadis itu masih digenggam, dan dia tidak protes sedikit pun.

Tidak ada yang berbicara selama lima menit pertama. Mereka hanya duduk dan menikmati semilir angin. Yuna tidak ingin memaksa Seokmin untuk bicara, karena ia mengerti, lelaki itu pasti butuh waktu untuk mengatakannya.

Bersamaan dengan angin kencang yang membuat daun-daun berjatuhan ke pangkuan Yuna, ia merasakan ada satu benda lagi yang bertumpu pada pundak kirinya. Bukan, bukan benda—lebih tepatnya Seokmin. Jika Yuna sedang minum air, mungkin ia akan tersedak hingga butuh pertolongan heimlich.

Gadis itu sama sekali tidak menyangka Seokmin akan segampang itu menyandarkan kepalanya di pundak Yuna. Dalam hati ia bersyukur gedung olahraga dan area sekitarnya sedang sepi. Bisa gawat kalau ada yang melihat mereka sekarang; gosip akan menyebar dengan cepat, dan Yuna tidak mau hal itu terjadi.

Diam-diam, Yuna tergoda sekali untuk menenggelamkan jemarinya di rambut yang sedikit acak-acakan itu. Dia melirik Seokmin dari ujung matanya, dan mempertimbangkan persentasi ke-awkward-an jika ia mulai mengelus rambut pria itu. Namun, niatnya diurungkan ketika Seokmin berujar pelan.

"Sebentar aja, jangan gerak dan jangan protes. Gue mau begini dulu."

"...Kenapa?" Tanya Yuna lembut.

Butuh waktu beberapa detik hingga Seokmin mau bersuara. "Gue gak kuat. Sebenernya gue takut, tapi kalo anak-anak liat, mereka bakal lebih down." Jawabnya lamat-lamat, seakan berusaha melambatkan waktu. "Tapi, mau gimana lagi. Ini tanggung jawab gue."

Yuna jadi makin bingung mau menjawab apa. Ia payah dalam urusan menenangkan orang sedih. Biasanya, kalau Eunha sedang galau, Yuna hanya akan menggit bibir, takut salah berkata, lalu mengelus punggungnya; setidaknya, memberi support secara tidak langsung. Tapi, yang dihadapinya sekarang ini jenis yang berbeda dengan Eunha. Duh, jadi bingung.

Alah bodoamat. Go all or go home, yun.

Tangan kiri Yuna teragkat untuk mengelus punggung Seokmin pelan. "Gue nggak ngerti rasanya jadi lo, tapi gue mau lo yang sabar. Kita bakal terus ngedukung dan doain yang terbaik buat lo."

Sunyi lagi. Benar kan, Yuna menang tidak ahli dalam hal seperti ini. Ia panik, jangan-jangan tadi ada kata-katanya yang salah? Gadis itu memutar otaknya lagi, berusaha mengatakan sesuatu yang bisa merubah mood dan mungkin, membuat senyum Seokmin muncul lagi.

"Gue emang pernah bilang gue mau Seokmin yang lain, tapi gak berarti Seokmin gue harus diskors 6 bulan," eh bego malah keceplosan.

"Lah? Kapan lo bilang gitu?" Setelah mengangkat kepalanya, Seokmin mengernyit; berusaha menahan senyum sebisanya. Ucapan Yuna barusan hampir membuatnya langsung ingin memeluk gadis itu karena terlalu senang. 'Seokmin gue', huh?  Why the possessive pronoun, Yuna?

Yuna memutar bola matanya sebal. Entah lawan bicaranya ini pura-pura lupa atau memang benar tidak ingat. "Waktu kita MUN di Nanyang. Lo nyebelin soalnya gak mau aliansi sama gue,"

"Oooh yang itu," Seokmin terkekeh. Untuk sejenak, beban yang dipikulnya hilang. "stance negara kita emang udah beda, mana bisa jadi satu aliansi. Dasar dodol,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

And OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang